Selasa, 06 November 2007

Dia Mulai Bicara

Suara hatiku mulai terasa bergemuruh kembali. Pasca menemani sodari dari jember ke makm ibu angkatnya, hatiku terdengar ribut dan sulit dikontrol. Hampir sebulan penuh hatiku terdiam dan tidak ada satupun komentar atas perjalanan ini. Setelah pergatian sopir dan pembicaraan-pembicaraan sesaat itu, ada serpihan yang tersangkut. Kesadaranku menjadi taruhan dari tiap bisik hatiku. Ini bukan rekayasa pikir semata, ini sebuah aliran yang sudah pernah ada sebelumnya. Kekurangaku, atau mungkin itu adalah kelebihnaku. Kerasnya angin yang diringi gerimis itu terasa menjadi pelengkap sambutan hatiku yang kini telah terbuka lagi. Bukan karena kebetulan atau juga karena kebutuhan saat ini. Gampang sekali hatiku terbujuk keadaan, kenapa aku harus menanggung beban ini, aku yakin ini adalah kata hatiku yang sebenarnya. Tapi bagaimana dengan kisah-kisah sebelumnya. Ucapannya yang terbungkus senyuman manis membawa auraku larut kedalamnya. Beberapa kali kucegat untuk membuktikan hatiku, cegatan itu selalu mengarah pada hatiku sendiri. Apakah aku sedang jatuh cinta? Apakah ini bagian dari rekayasa alam yang mengiringku pada sebuah kebenaran. Pusing kepalaku. Rekaman masa lalu terputar kembali bersama dengan gelisah hati ini. Embun pagi yang menempel didedaunan tidak bersahabat lagi denganku, dia sudah dibasahi terus menerus gerimis saat ini sedang musim. Dia telah dibasahi, ruang hatinyapun belum pernah tersedia untuk hatiku. Apakah ini akan berakhir dengan baik, atau sebaliknya, pikiranku semakin sulit ku kontrol apalagi desakan hatiku yang terus menindih dalam tiap hela nafasku.
Secangkr kopi panas memang sahabat yang setia. Tiap tegukannya mengalirkan energi kehidupan. Cangkirku telah dituangi kopi yang bukan racikanku entah racikan dari mana, rasa, aroma dan warnanyapun tidak seperti yang kubuat. Hambar rasanya, padahal kopi yang biasa ada dicangkirku selalu kujaga citranya, siapapun pasti ingin mencicipinya, walau demikian cangkir dan kopiku selalu setia, dia selalu dan hanya aku yang meneguknya. Semangat itu masih tersimpan rapi dan ku rawat senantiasa siap sedia saat ku meneguknya.
Hamburan gerimis yang menuangkan aroma tanah basah mencirikhaskan musim basah telah tiba. Seperti aroma dan cita cintaku mulai bersemi diantara rintik-rintiknya. Terkadang sengatan kilat yang menyusup diantara gerimis dan hujan , itu menyegarkan pikiranku yang terpenuhi rasa keingintahuan tentang garis kehidupanku.
Aku menyebutnya sabda, tapi kini hanya bagian yang sulit kuterjemahkan. Kehambarannya menyeretku untuk bangun dari mimpi-mimpi yang sebelumnya tidak pernah tercipta. Apakah dia “Titipan Ilahi Yang Akan Sampai” memberiku ruang atas hatiku yang selama ini tetap kujaga. Apakah aku hanya mengumbar nafsu untuk kepentingan sesaat saja. Hatiku tidak akan pernah membohogiku untuk tujuan yang sia-sia, hatiku akan selalu setia dalam tiap jengkal perjalananku. Apakah dengan membuka diri mendapatkan tambatan yang bisa menerima hatiku, hatiku sangat gersang. Tak satupun tetesan kasih sayang didalamnya, hanya sebuah semangat untuk tetap hidup diantara semak belukar kehidupan ditanah antah berantah, yang tetap setia dengan secangkir kopi panas diantara pagi, siang dan malam. Jiwa yang selalu memenuhi panggilan itu, terjerat dan mengakar diseluruh tubuhku atas jelmaan hati ini untuk menyangga akibat perilaku kahidupanku.

Selasa, 09 Oktober 2007

Hati Menyapa dan Tak Henti Bersenandung

Satu minggu telah berlalu, hembusan hawa dingin jogja menghenyakkan rasa perih hati pertengahan bulan juli 2007 kemarin. Sakit ini, tak dapat terlukiskan oleh kuasnya pelukis ternama sekalipun dan tak dapat dibaca sang peramal agung, tapi dapat mengalir disela-sela kehidupan dalam menyingkap misterinya sendiri. Sang kala sudah menyaksikan hampir 7 kali purnama bersemi tanpa adanya gerimis dan mendung menghalangi perjalanan ini. Dalam kelam sang rembulan, berbinar cahya menyemburat rasa kenang nyaman tak lagi terlintas bersama bekasnya burung melayang angkasa, bahkan seperti kolong meja yang disebut-sebut, padahal tak pernah terasa dia nyata berada diantara kaki-kaki yang melekat dalam susunan meja itu.

Jarak tak pernah bersaksi akan pentingnya pertemuan. Sang kala terus menyisir tiap biliun detik untuk kepuasan alam yang mengiringi komitmen atas tugasnya menyertai kehidupan. Andil sang kala terus mencatatkan peristiwa-peristiwa yang meraup kenangan perjalanan sang pengembara diatas tanah perasingan bapak angkasa. Rintihan, dan raungan hati terus mencuat merasuki peraduan tak berujung. Perbedaan yang sebelumnya terasa indah dan menyenangkan berbalik arah, pahit dan menyakitkan. Mungkin tanah yang dulu bersorak sorai menyambut langkah kaki yang bersemangat meraih cita, kini tak sanggup angkat suara, diamnya membujuk alam jagat raya untuk menyatakan keterpurukan hati tersayat.

Bunga-bunga ditaman yang melambai kasih sayang, diam tertahan ikut menyangga beratnya beban rasa kehidupan sang pengembara. Apakah ini langkah akhir perjalanan menyusuri tangga kehidupan yang berliuk terus merangkak keatas. Apakah ada babak kedua yang akan tergelar untuk kisah ini. Kisah kesatria menangkap cinta alam semesta. Kuncup-kuncup itu apakah akan mekar kembali ditaman yang pernah tergarap sapuan kesatria.

Erangan batin itu terus terdengar dan menyapa senandung pilu. Dari semua yang tampak ternyata hanya ilusi, tapi dari ilusi tampak kebenaran walau itu relatif. Tidak lepas juga pertemuan baginya memiliki maknanya sendiri-sediri. Pernah tak menghiraukau desah dan kata hati itu, bebannya semakin bertambah tak henti-hentinya mendapat hujaman tentang realitas yang ditunjukan oleh sang hati. Liku-liku yang menjadi loncatan meraih tangkai rasa aman sulit untuk dicapainya. Karena begitu berarti, jiwanya hampir tergadai oleh sang kala yang tiap saat siap melahap atas penyesalan tak berarti dalam perjalanan sepi. Kenangan-kenangannya pada suatu waktu yang mengisahkan dirinya dengan belahan jiwa yang entah dimana, sering membayang tuk berpesan “ikat diriku saja, jangan kau penjarakan hatiku, sakit ini terasa menyentuh akar-akar itu, dia merambat dan menyerap maduku”.

Penciptaku yang Agung, kenapa samudra masih tetap menyanyikan alunan gelombang dengan deburan-deburan ombaknya. Apakah itu sebuah pertanda yang akan diwariskan pada anak-anakmu ditanah kelahirannya. Keringat-keringat yang menetes membasuh ketegangan diantara peciptaan-penciptaan itu. Kian lama sapuan ombak, mereda seraya berpesan “satria tidak akan mati oleh pedang musuhnya, tapi akan mudah terhunus oleh pedangnya sendiri”. Seorang satria akan mati bukan mati kesatriaanya tapi mati dalam semangat berperilaku sebagai satria. Pedang yang meghunus dan menembus dinding kulit adalah perilakunya dalam menhadapi tantangan hidup terutama masalah hati. Karena menghiraukan hatinya, karena hatinya sudah tidak menjadi sahabatnya. Satria hidup dan akan selalu berpasangan dengan hatinya.

Kestiaan dalam merasakan hati mulai terasa pudar, terlebih ketika ada gelombang-gelombang asmara yang menghujamnya dalam ketidakpercayaan.

Ruang itu sepertinya tetap bertahan. Mungkinkah akan berubah untuk sesuatu yang lebih berharga. Malam ini cerah dan sangat cerah, mungkin karena ini pertengahan bulan atau sebagainya tapi memang ini mengalir seiring perjalanannya yang selalu konsisten. Sang kalla, begitulah para orang tua menyebutkan. Tadi ku coba dial nomor yang biasa kutekan untuk mendengarkan suara merdu itu, tak sanggup mungkin tak kuasa untuk bersambung pesan.

Aku memang butuh perhatian terutama hati, kepercayaanku atas kesetiaan masih terpegang, apalagi demi visi hidup. Sesekali kulihat pergelangan ini dengan mata telanjang, tak kulihat bekas-bekas yang pernah kau bercak-kan untuk kenangan tercipta. Hai ibu, begitulah seruan seorang bapak pada pasangan setianya. Sebulan lebih seminggu tak kunjung reda perasaan ini menanggung beban hati. Kerumunan suapan pikir yang terus bertumpuk memaksa ruang itu untuk bersapa hai… hatiku memang benar begitu adanya, tak kurang dan tak lebih. Itu porsi yang sedang kutanggung. Walau satu dari bagian satu lainnya tak berasa, arus yang mengalir tetap bersaing untuk mempertahankan semangat itu…

Kemunafikan yang selama ini tertahan, tak dapat terbendung oleh adanya arus yang lebih besar. Aku belum sanggup untuk memberinya nama. Apapun itu, aku sendiri masih belum tau akan dibawa kemana. Tiap peluh yang menetes dan menyeliputi seluruh tubuh, menjadi saksi atas jawaban yang tertangkap “kita tidak seiman”. Demikiankah yang harus ditanggung bagi mereka yang memiliki perbedaan keyakinan menyembah Tuhan. Sampai waktu yang tak pernah kutentukan, jawaban itu hanya bagian dari lapisan yang sampai saat ini masih menutupi intinya. Tapi apa dayaku, aku hanya manusia biasa yang tidak bisa menembus ruang itu, mendengarkan hati yang berbicara jujur dan tak pernah berbohong walau kehidupan memaksanya.

Kebersamaan yang pernah kulalui bersamamu membawa banyak perubahan dalam hidupku terutama memahami pasangan. Dalam waktu tertentu, kucoba memahami sudut-sudut dari alur yang berbeda yang tidak biasa kulalui. Ternyata sulit kucari benang merahnya. Sulit juga ku cari makna yang tersirat didalamnya. Tak kuasa juga untuk berandai-andai dalam merangkai masa depan yang hendak dipahami. Apakah aku harus masuk kedalam lingkaran itu. Lingkaran yang membawa pada semangat untuk meraih cita dan cinta.

Pernah suatu ketika, dalam remang malam kubertaruh pada sang rembulan. Akankah rasaku berbohong tentang perasaan ini. Dia hanya bisu dan tak pernah bergeming menjawab pertanyaan dan taruhanku. Rembulan padam dihempas mentari, yang membawa semangat berbeda. Semangatnya menyapu keraguan tiap celah kehidupan, perjalanannya memberi warna yang lebih kompleks. Sorotannya, raungannya dan lintasannya yang selalu meraih apapun dalam lorong-lorong cahaya menyerap kegelapan tinggalan sang rembulan.

Apakah sang rembulan tak seiman dengan mentari. Rembulan berjalan di waktu malam dan mentari di siang hari…

-  -


Bunga pasti akan bersemi di taman sari yang pernah terjanji. Kapan itu bukan jawaban yang menarik untuk sebuah harapan, tapi perjalanan sang kala menangkap maksud hati satria yang setia menunggu berkembangnya mawar di taman sari kehidupan nyata. Kini dan masa lalu bentuk dari perjalanan yang konsisten dari langkahnya sendiri. Karena naluri untuk sesuatu pasti berjalan berirama dan tak pernah berkesudahan. Satu dari satu yang lain pernah ada dalam kenangan, "kemarin aku pernah ke tempat ini dan aku merasakan yang sama" uangkapan satria dari Jawa bagian tengah bilang itu, adalah dejafu.

Sulit terkadang untuk menemukan rencana-rencana yang akan ditemukan. Rencana-rencana itu disebut dengan mimpi, ya.... Hanya mimpi dan sebagian orang menyebutnya dengan visi. Terus bagaimana dengan dejafu. Apakah ada hubungannya dengan mimpi-mimpi itu, yang pernah terhimpun dalam memori tiap orang kemudian teringat pada masa-masa tertentu, sebenarnya itu tujuannya, itulah mimpinya, itulah yang meinspirasi dunia. Inilah hidup yang memberi kehidupan terus berlanjut turun temurun, mengiring alam semesta, melestarikan isi jagat raya dengan teori sebab akibat dan orang Budha menyebutnya karma.

Begitu indah senyapnya malam, temaramnya cahaya lampu pengiring tidurku, masa lalu yang kian mencuat dalam bayang-bayang tindakan keseharian memuat cerita kehidupan. Malam kini tak seperti waktu itu, waktu yang terisi oleh genangan rasa kekurangtahuan pada sendi-sendi perjalanan. Dia dapat terkendali oleh pikiran dan sebagian rasa yang menyelimuti seluruh tubuh, karena itu melekat.

-  -



Apakah Perlu Jawaban?


Mimpi-mimpi itu terus berdatangan, terlebih saat sidur siang. Kali waktu habis mimpi itu terasa aneh dan kepikiran untuk berbuat sesuatu. Kesibukan kepanitiaan Pekan Olahraga Nasional, yang kebetulan pusat kegiatan kesekretariatan di berada jauh dari kegiatan diadakan. Tidak hanya kesekretariatan, tempat nginap bagi atlit-atlit juga bersebelahan dengan kesekretariatan yang jaraknya kira-kira 30 kilometeran dari pusat kegiatan berlangsung. Karena kekurangan personel di kesekretariatan, waktu untuk istirahatpun berkurang, tiap harinya hanya 2 sampe 2,5 jam saja, tapi mimpi-mimpi itu tetap datang dengan esensi yang sama. Kondisi ini sangat mempengaruhi kegiatan yang sedang dijalani apalagi sedang ngurusi kegiatan nasional, sering juga terlintas diantara aliran-aliran kertas yang berhamburan bertanya, kenapa ini terjadi? jawab untuk itupun tak pernah tergenapi. Keheranan ini terus menghampiri, seakan mengisi ruang-ruang istirahat, dikala perangkat-perangkat elektronik kelelahan. Lingkaran energi yang berputar seolah mendukung untuk pergerakan munculnya pembaharu yang dapat merasakan irama perjalanan sang revolusioner. Tapi apakah ada yang menyambut pergerakan itu, sedangkan alirannya melulu berkecenderungan senioritas. Obrolan-obrolan kecil diantara panitia kadang inti kadang membantu untuk meringankan beban yang bersarang di ujung kepala ini, atau jangan-jangan dia tidak pernah bersarang disana, dia hanya bagian dari kamuflase pemikiran yang bersifat sementara atas gejolak penindasan pikiran. Dikesekretariatan sembilapuluh persen personelnya merasa stress tegangan tinggi karena kurangnya job description dari sistematis kerja yang menyeluruh. Sebelumnya pemain cadangan, tiba-tiba tanpa pemberitahuan langsung menjadi kapten, sedangkan kaptennya sendiri dibuat bingung atas situasi sendiri, karena si emain cadangan adalah seniornya.

Sayang dong dengan sumberdaya manusia yang memadai seperti itu, kemudian hanya menjadi tukang ketik dan tukang menuangkan tinta ke printer. Mereka yang berada disana, sengaja disiapkan menjadi pemikir atas permasalahan yang sedang dibebankan untuk diselesaikan. Ruang yang tersedia sangat kurang memadai, bukan ruang, ruangan untuk kesekretariatan dan divisi yang lainnya, tapi ruang untuk kerangka yang lebih jauh ke depan untuk mengambil keputusan bahwa mereka adalah pemikir. Siapa yang akan menyangka bentuk tekanan yang sedang dialami dapat merubah iklim yang sebelumnya semrawut. Kemudian kelompok-kelompok kecil ini menjadi bagian paling penting dari yang penting, mereka dimunculkan karena bentuk integritasnya atas tanggungjawab. Apakah hanya dengan tanggungjawab saja, tidak kan tapi dalam bentuk tindakan nyata atas apa yang menjadi pertanggungannya masing-masing. Grade kepentingan dari tiap divisi sama, yang berbeda adalah tingkat kesulitannya yang menuntut skill yang berbeda untuk diselesaikan. Walau semangat yang dimunculkan berbeda-beda, disesuaikan dari karakterny masing-masing. dari tiap divisi yang ada, diatas rata-rata personelnya dari kalangan mahasiswa. Mahasiswa, kebutuhan primernya untuk mendapatkan pengalaman atas perjalanan yang sedang dilaluinya, tapi disisi lain mereka juga perlu diperhatikan kebutuhan skundernya, financial yang memadai untuk menunjang aktifitasnya. Untuk kebutuhan financial di kegiatan ini sangat besar, terlebih bagi mereka yang notabene mahasiswa yang sambil bekerja. Ketika tidak bekerja mereka tidak medapat upah, dan nol upah berarti disakunya juga nol, seharusnya ini menjadi salah satu perhatian bagi para pengendali dan pendistribusian keuangan, mereka membutuhkannya.

Disisi yang lain dari arah yang bersamaan, semangat untuk mensukseskan kegiatan sangat terlihat dari bentuk-bentuk penyelesaian tiap kasus yang berseliweran diantara divisi yang ada. Kepercayaan atas tanggungjawab yang sudah dibebankan menjadi alternatif prioritas utama untuk ditempuh dalam hal pemberian wewenang. Tidak peduli dia dari kalangan mana, terpenting dia sanggup menjalankan roda yang sudah dibuat dan dijalankan bersama-sama system lainnya mencapai tujuan. Sehari pertama, perjalanan terasa melelahkan, kurangnya support pendukung bergulirnya aktifitas bersama. Hari kedua, tak jauh berbeda dengan hari pertama, pembebanan-pembebanan aktifitas fisik menjadi prioritas, padahal secara esensi itu bukan bagian dari penyelesaian yang dikerjakan. Herannya itu tetap mereka lakukan untuk tujuan menyenangkan pemain cadangan yang menjadi kapten tadi. System harus dibuat untuk menggilas system yang tidak bermutu berkuasa. Rantai system itu harus sedikit demi sedikit dilapisi dengan system yang mumpuni sesuai kebutuhan bersama. Tanpa adanya persetujuan dan kepedulian sesama kegiatan ini tak berarti apa-apa, mungkin hanya sebatas sekumpulan orang sedang ngumpul dan ngrumpin sesnuatu yang kurang berarti. System seperti apa yang harus dibuat, untuk mengkaver semua unit dan saling bertautan. Apakah perlu diubah, atau dibiarkan saja seiring perjalanan waktu system itu akan mati dengan sendirinya. System di buat oleh orang-orang yang memiliki kepentingan, baik kepentingan perorangan maupun kepentingan kelompok. Hubungan mendasarnya, system tanpa orang yang menjalankan tidak jalan, kemudian tujuan utama system dibuat untuk memudahkan personel atau sumber daya manusia didalamnya untuk menggerakan roda pergerakan itu. Tidak hanya untuk memudahkan oknum yang menjalankan saja, juga memudahkan untuk mengevaluasi kinerja dari masing-masing bagian dalam menunjang tujuan utama.





Sebuah harapan untuk melengkapi atas kebutuhan hati kini telah terampas oleh alam yang selama ini setia mengiringi perjalanan dalam menembus ruang-ruang yang pernah terjanji. Empat kali ingkaran yang pernah berlabuh kini bertandang untuk muncul kembali, tak tau kenapa 'mereka begitu gigih dalam memperjuangkan haknya yang sebenarnya tak pernah mereka kerjakan kewajibannya". Tanya hati pada sang jiwa pengelana "kenapa ini berhimpit mengisi ruang yang sebelumnya belum pernah disediakan". Rangkaian sejarah atas perjalanan hati ini terus tanpa henti tak terkendali oleh nafsu-nafsu pikir atas jawaban

Jawaban itu tak pernah terlintas, efek dari suara-suara itu membat jantung ini semakin tak terbentuk diantara sejumlah kerumunan team yang bertanggung jawab atas teamnya. Kenapa jantungku berdetak tak karuan, kupikir karena adanya tekanan psikis yang terus mendera ruang-ruang itu. Sepi dan sepi, sekali lagi hanya sepi. Tak ku sangka semua yang terlihat hanya bagian dari kamuflase kehidupan belaka. Semua yang tampak hanya ilusi dan kupikir ilusi adalah kebenaran yang tampak. Tak heran jika ilusi hadir untuk sebuah kebenaran. Rel-rel yang pernah terbangun tak lebih sebagai sarana penghubung satu ke lainnya yang saling bertautan. Antara perseteruan satu dan lainnya pun mengisi ruang itu untuk satu tujuan yang sama. Benarkah demikian? Kebenaran akan sesuatu pasti punya penjelasan atas esensi yang terkandung didalamnya. Sebuah gerak hati tak akan pernah terdeteksi jika hati itu tak pernah dihiraukan apalagi diperdengarkan. Sedangkan setiap detik bahkan sepernano detik hati selalu berbicara untuk yang didiami hati itu.

Jangan-jangan hatiku tak pernah kudengarkan untuk tiap perjalanan yang pernah terlampaui. Kalaupun demikian siapakah yang telah mendengarkan tiap hatiku bicara padaku, sedangkan diriku sendiri tak pernah mendengarkannya. Apakah dari tiap suara itu kudapatkan salinan yang terukur dari diriku sendiri.

-  -

Dia Telah Dijodohkan

Hubungan dianatara mereka, endarti dan pamungkas semakin bersemi di taman bunga yang indah. Perjalanan mereka sangat mulus dan tak pernah ada gangguan disana-sini. Temen-temen mereka mendukungnya, walau kalangan tertentu saja yang tau hubungan itu. Hampir tiap ada jadwal jaga malam di tempat kerja pacarnya, pamungkas selalu menyempatkan datang untuk menemaninya. Jalinan kasih mereka semakin merasuk menebal seolah sepuhan-sepuhan itu menutup lobang-lobang yang dapat mengakibatkan kebocoran udara (istilah pengecoran logam). Sudah tidak menjadi hal yang aneh bagi penjaga rumah sakit itu ketika pamungkas datang disaat endarti mendapat giliran jaga. Petugas-petugas itu seolah mengerti kalo mereka pernah muda dan merasakan getaran-getaran jiwa yang saling menyaut. Benih-benih kasih mereka bertaburan diantara kerumunan pengunjung pasien yang dating di tempat jaga itu. Pasien-pasien itu seolah memberi waktu bagi kami untuk sering ngobrol bersama. Canda-canda kecil dari pasien dan pengunjung mengarah pada kami, dan itu kuanggap sebagai bumbu-bumbu di tempat ini, pikir pamungkas untuk menenangkan pikirnya, bahwa hubungan mereka di terima diantara ruang-ruang sempit pacarnya bekerja.

Mungkin alam bekerja sesuai dengan gayanya yang tidak dapat ditahan alurnya. Dalam seminggu dia bertemu dengan shinta, seolah ini bagian yang harus dia tahan dari rasa dan lainnya. Walau terkadang dia merasa tidak enak dengan shinta, karena mereka bekerja di tempat yang sama. Akhirnya pada suatu kesempatan pamungkas ditegur duluan leh shinta dari kabar dan lainnya. Ternyata pamungkas masih merasakan benih-benih yang pernah tertanam dalam dirinya tentang shinta. Dia terlihat gagap ketika ditanya ini, itu dan seterusnya oleh shinta. Percakapan kecil dilorong menjadi terasa mengasikkan bagi mereka sambil menenteng gelas masing-masing karena habis membuat teh hangat di dapur. Shinta juga sering menanyakan kabarnya endarti, kadang pamungkas di buat kikuk sendiri dengan kondisi demikian, jelas-jelas endarti bagian dari pamungkas yang sensitive dan shinta menyinggung-nyinggungnya tanpa ditutup-tutupi. Shinta seolah mengerti jalan pikiran pamungkas, ketika ngobrol yang dibahas hanya seputar hubungan pamungkas dengan endarti dan kuliahnya. Karena bagi shinta sebelum kita melangkah lebih jauh sebaiknya kuliah diselesaikan dulu. Tujuanmu datang ke jogja untuk kuliah kan! Ungkap shinta kepada pamungkas.

Pamungkas sering menimbang-nimbang nasehat dari shinta yang tiap minggu ketemu dua kali itu. Selain aktifitasnya kerja di tempat itu, pamnungkas juga akan menyelesaikan tugas praktik yang sesuai dengan jurusan dan bidannya disalah satu instansi atau perusahaan. Spirit untuk hidup bersama dengan pacarnya semakin bertambah tapi disisi lain terus menarik untuk menyelesaikan kuliahnya seperti yang dinasehatkan shinta. Mimpi-mimpinya tentang itu selalu berulang dan terus berulang. Seperti orang yang sedang bingung untuk memutuskan pilihan dalam perjalanan ini. Dia mencoba mengkomunikasikan masalah itu dengan pacarnya, tapi pacarnya seolah tak pernah mempedulikan yang sedang dialami pamungkas. Pacarnya hanya menikmati dunianya sendiri dan pamungkas hanya bisa menengadah meminta pertolongan hatinya yang selama ini ia dengarkan ketika diam.

Permasalahan itu tak pernah terjawab oleh endarti, walau tiap ada kesempatan pamungkas selalu menyisipkannya, nihil dan tak terjelaskan. Pamungkas mencari alternatif-alternatif pemecahan atas permasalahannya. Dia mendatangi shinta untuk sharing dan membicarakan masalahnya. Shinta membuka pintu lebar-lebar untuk permasalahan pamungkas. Hari pertama, shinta hanya mendengarkan, kedua mendengarkan, ketiga mendengarkan dan seterusnya hanya mendengarkan. Nasehat-nasehat yang pernah keluar dari mulutnya sudah tak pernah terdengar lagi. Shinta hanya menjadi pendengar cerita setia. Pamungkas tak jera juga menceritakan permasalahan-permasalahannya padahal dia sendiri tak pernah mendapatkan jawaban atas keluhan-keluhan yang tersirat dalam celotehannya. Walau seperti itu pamungkas mendapat kepuasan atas penerimaan permasalahannya oleh shinta. Dia tak pernah sadar kalau dirinya merasa sangat nyaman tiap kali menceritakan detail ceritanya pada shinta. Seringnya pamungkas mendatangi shinta untuk konseling tidak mengurangi kedatangannya pada endarti pacarnya yang sering mendapat giliran jaga malam.

Pada pertigaan pertama bulan april, endarti ulang tahun yang ke 23 tahun. Pamungkas sengaja untuk tidak mengkomunikasikan acaranya pada endarti. Dia hanya menceritakan kalau dia tidak bekerja pada hari ini, dia hanya akan berlibur dan menikmati hari itu untuk menemui dan menghabiskan waktu bersama endarti. Sejumlah hadiah dan kejutan-kejutan lainnya sudah disiapkan. Janjian untuk ketemuan ditempat pertama mereka bertemu menjadi pilihan tepat, pikir pamungkas. Merekapun dijanjian seperti yang disarankan pamungkas. Pada jam yang dijanjikan pamungkas berdandang tidak seperti biasanya, dia ingin pacarnya merasakan berkesan atas penampilan saat dia ulang tahun. Lima menit pertama dia memaklumi karena perjalanan dari rumahnya memang jau. Pamungkas merasakan hal yang aneh, jam yang berada di ponselnya serasa berputar lambat, diapun mulai sibuk untuk menghubungi pacarnya. Tapi tak pernah ada jawaban pasti atas kedatangannya. Dia tetap menunggu sampai tiga jam di tempat itu tapi tak pernah kunjung datang belahan jiwanya. Puisi-puisi tertulis di kertas bergaris yang bercorak bunga itu seakan-akan mencemoh dan meledek pamungkas. Hadiah-hadiah lainpun serentak menertawakan pamungkas yang lemas lunglai atas penantian yang tak tentu itu. Dia terus menghubungi pujaan hatinya yang sudah beberapa kali menghianati perjanjiannya.

Tengah malam sehari setelah hari perjanjian itu, pacarnya sms berisikan pesan marah, karena teks yang tertulis dengan huruf kapital. Dia marah-marah atas lambatnya respon pamungkas atas ulang tahunnya itu. Pamungkas langsung menjawab “kemarin gak datang, hadiahmu menunggumu”. Jawaban itu mungkin meredakan marahnya endarti pada pamungkas, tapi tak ada respon dan dan tak ada kelanjutannya sampai seminggu pasca ulang tahunnya. Pamungkas merasa kecewa terhadap endarti yang tak pernah menepati janjinya. Dia malas untuk berhubungan lagi dengan endarti pacarnya. Walau masih berpacaran tapi atmospir diantara mereka sudah tak terasa lagi, kalau mereka masih memiliki ikatan.

Dua minggu pasca ulang tahun pacarnya, pamungkas memberanikan diri untuk konseling pada konselornya, shinta. Dia menceritakan kejadian yang telah terjadi kepada konselornya, respon konselorpun hanya duduk manis dengan mata menatap tajam tapi memperhatikan tiap kata yang keluar dari sang klien. Dua jam mereka berada di dalam ruang konseling. Kakiku mulai melangkah keluar ruangan, konselor berpesan dengan nada santai “jangan percaya janji yang ketiga ketika yang pertama dan kedua tak pernah ditepati”. Aku hanya terdiam, tangan kanan yang meraih gagang pintu itupun terhenti ketika suara konselor itu mengalun. Dan dilanjutkan dengan anggukan kepala pamungkas, sambil melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan itu dan menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda selama dua jam itu.

Pamungkas menjalani hidupnya seperti sedia kala dan mendapat semangat tambahan untuk menyelesaikan kuliahnya. Dia mulai mengurus kerja prakteknya di instansi yang anggap dapat membuat pikirannya lebih berkembang. Suatu saat ketika dia sedang mengeluarkan proposal dan surat-surat permohonan kerja praktenya, rekan sekerjanya menabraknya dan berceceran dilantai. Tiba-tiba ada tangan kecil yang lentik membantu memungut surat-surat dan proposal pamungkas. Tangan itu hanya bisa kuperhatikan dan baru saja akan kuucapkan terima kasih, kulihat senyumnya yang membuatku kaget, karena dia, shinta. Kulihat air mukanya kagum dan bangga atas perubahan yang ada padaku untuk menyelesaikan kuliahku. Kulanjutkan niatku untuk mengucapkan terima kasih. Setelah masuk ruangan pamungkas mendengar dering suara ponselnya, dan dia tau itu adalah nada dering pacarnya. Dia tidak segera mengangkatnya. Dia hanya memperhatikan dan terus memperhatikan ponselnya yang berderik-derik. Karena sudah empat kali, pamungkas merasa tidak tega dengan kondisi itu. Tangannya meraih ponsel dan menerima panggilan itu. Benar adanya suara yang terdengar adalah pacarnya, yang merasa saat itu merasakan hal aneh dalam dirinya, kira-kira lima menit sebelum menelpon pamungkas. Pamungkas hanya terdiam mendengar cerita, mendengar perhatian pacarnya barusan dia timpa. Pikir pamungkas singkat, tadi kan hanya surat-surat dan proposalku yang terjatuh dan dibantu diambilin oleh shinta, tapi dia hanya diam mendengarkan celotehan pacarnya. Dia hanya merasa heran saja, karena sudah dua minggu lebih tidak ada komunikasi, tiba-tiba nelpon dan berkali-kali supaya diangkat.

Suatu malam dianatar lorong –lorong stasiun lempuyangan, pamungkas menghubungi pacarnya untuk berpmitan dan minta di doakan suapaya selamat dalam perjalanan. pamungkas mendapat undangan dari temannya yang berada di propinsi banten untuk menghadiri pernikahannya. Temannya ini, teman dekatnya waktu sama-sama menjadi volunteer di salah satu LSM di jogja beberapa tahun lalu. Walau jarak tempuh lumayan jauh, bagi pamungkas itu bagian dari tantangan untuk menemui dan memberi selamat bagi temannya. Endarti pun menemani perjalanan pamungkas lewat ponsel. Setelah selesai akad nikah pamungkas menghubungi pacarnya kalau dia telah menjadi saksi temannya yang nikah. Dan jawaban pacarnya “jangan-jangan ayah yang nikah ya”, pikir pamungkas ini hanya gurauan dan dia membalas “biasanya kalo orang ngomong gitu, biasa sudah dekat lho”, keduanya pun hanya tertawa dan tertelan oleh suasana adat disitu. Setelah perjalanan itu, rutinitas pamungkas semakin tertumpuk pekerjaan karena tertunda untuk membuat laporan, laporan dan laporan.

Seminggu setelahnya, pagi buta pukul 06.00an ponsel pamungkas berdering keras. Nada itu khusus bagi nomor yang tidak dikenal, pamungkas langsung tanggap dengan suara ponselnya, padahal dia baru tertidur jam 05.00an. kata pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, pikirannya penasaran dengan isi pesan itu. Pesan yang berisi undangan untuk datang diacara akad nikah. Karena pikirnya ini masih pagi dan belum sadar benar, dia mencuci mukanya dan kembali ke kamar untuk membaca ulang pesan itu. Pesan itu memang undangan untuk upacara akad nikah pacarnya. Pagi itu yang mulainya cerah-cerah saja, tiba-tiba gelap dan serasa sambaran-sambaran petir menghantam tiap micron hati pamungkas. Sesaat dia tidak dapat berpikir harus berbuat apa, hatinya terasa jatuh dan tercecer diantara duri-duri tajam yang menghujamnya berkali-kali. Dia menceburkan kepalanya ke dalam bak mandi di kosnya, lama didalam air dan sempat tersedak karena air bak itu masuk melalui celah hidung. Dia mencoba tidak percaya dengan pesan itu, dia berlari kencang melintasi gang-gang di daerah kos-kosannya, nafasnya tak beraturan dan dia terjatuh, tergelincir di dalam lobang got didekat kosnya. Matanya tak bisa dikendalikannya. Pandangan gelap tak lekang dari hadapannya, kaki diangkat terus bangkit dari lobang itu dan melanjutkan lari tanpa tujuan. Dia tak tau arah dan tujuannya entah kemana, pagi itu setalah nafasnya tidak terengah-engah kemudian memandangi tempat ibadah orang katholik didaerah banteng salah satu kampung di daearh sinduadi mlati sleman. Dia tak melihat lalu lalang orang masuk kedalam gereja itu, karena tepat dengan jadwal misa pagi. Dia masih memakai celana pendek 2 cm diatas lutut, pergelangan kakinya terlihat mengalir darah dan kaos putihnya yang sudah tidak layak disebut warna putih karena sudah terlihat hitam kecoklat-coklatan kontaminasi dari air got di dekat kos-kosannya.

Dia ditemukan oleh teman gereja, yang habis misa di gereja itu. Dia di bonceng dan ditunggui untuk mandi dan ditanya ini, itu dan ini, itu, tapi pamungkas hanya diam. Dia hanya bisa mengenang masa lalu bersama pacarnya yang kini akan nikah dengan orang lain. Dia teringat akan janji mereka, “yah (ayah), kalau ayah duluan nikah, mama pasti datang ketempat ayah nikah dan kalau mama nikah duluan berarti ayah juga harus datang ketempat mama nikah, ini janji kita lho, siapa yang tidak menepati pasti akan dapat karmanya”. Pamungkas langsung menghubungi shinta atas masalah yang sedang menimpanya. Shinta bersedia untuk ditemui dirumahnya dan disana pamungkas mencurahkan beban hatinya. Dia juga menceritakan janjinya pada shinta. Shinta kemudian bersaran “sebaiknya kamu jangan datang ke acara akad nikahnya karena aku gak yakin kamu bisa menghadapi ini disana”, aku berjanji pada shinta kalau aku harus menepati janjiku padanya, ungkap pamungkas memegang tangan shinta erat-erat. Sebelum meninggalkan rumah shinta, pamungkas menoleh dari balik pintu keluar tertuju pada shinta “satria tau peperangan ini akan membuatnya binasa, tapi dia tetap akan maju di medan perang ini” dan meninggalakn tempat itu dengan laju yang tidak menentu.

Pada hari kad nikah, pamungkas mengajak sodara sepeupunya yang perempuan untuk menemaninya untuk acara resepsi. Sepupunya tidak pernah tau akan menghadiri resepsi siapa, karena pamungkas sendiri tidak mau menjelaskan resepsi itu pada sepupunya. Sepupu perempuannya ternyata sudah pernah ketemu dengan pacarnya pamungkas ketika sampai tempat akad, sepupunya hanya terdiam dan bingun harus berbuat apa terhadap pamungkas. Pamungkas hanya dapat menyaksikan dari kejauhan pacarnya dinikahi laki-laki yang tidak pernah tau sebelumnya. Bingkisan yang dibawa oleh pamungkas sejumlah hadiah yang sebelumnya ditujukan untuk ulang tahun pacarnya. Hadiah-hadiah itu kini telah sampai pada penerimanya walau dengan suasana berbeda, pikir pamungkas kecewa atas semua yang pernah terjadi. Acara salam-salaman pun menjadi tradisi, sederetan tamu undangan berbaris ngantri untuk dapat menyalami kedua mempelai. Pamungkas menunggu dengan sabar tamu undangan itu sepi bahkan habis. Kira-kira tiga langkah disamping kedua mempelai itu, pengantin perempuannya melangkahkan kakinya untuk lari, karena pakaian kebayanya menghalangi kecepatannya untuk melangkah dan pamungkas langsung menarik tangan mempelai wanita itu erat-erat. Kejadian yang sulit dipahami oleh pamungkas sendiri, kenapa dia di undang tapi ketika hadir dia malah melarikan diri. Suasana di tempat itu tiba-tiba tegang, mempelai laki-laki hanya memandangi laki-laki yang tidak dikenalnya memegangi erat tangan istrinya. Dengan tanggap sepupunya pamungkas bertanya pada mempelai laki-laki, entah apa yang ditanyakan tidak terlalu dimengerti dan pamungkas melihat disebelah kanan mempelai perempuan itu terlihat sedu sedan menangis tanpa ditutup-tutupi, seolah tempat yang sebelumnya didesain gembira menjadi kesedihan dipihak penyelenggara. Tangan pamungkas masih memegangi tangan mempelai perempuan itu yang notabene pacarnya. Dia memberanikan diri bertanya pada pacarnya “yah, sama siapa datang kesini, kok ayah tau kalau mama nikah hari ini” dengan matanya yang digenangi air mata kemudian mengalir deras, walau tak bersuara tangisan, tapi pamungkas mengerti bahwa ini adalah rasa yang menunjukkan bahwa dia tidak ernah menghubungiku untuk acara nikah pacaranya. Pamungkas menjawab dengan terbata-bata “ayah datang bareng sepupu yang pernah kukenalkan pada mama waktu itu. Dilepaskan pegangan erat itu dan badan pamungkas di putar untuk kembali menyalami mempelai laki-laki. Dalam langkah menuju samping kanan mempelai wanita itu, mata pamungkas melirik memperhatikan pacarnya yang terlihat sedih menutupi hidung dan mulutnya dengan sapu tangan. Langkah itupun semakin mendekat seorang perempuan paruh baya, dan pamungkas tau kalau itu adalah mbaknya endarti yang sering menerima telponnya beberapa minggu yang lalu. Diraihnya tangan perempuan paruh baya itu erat-erat oleh pamungkas, dan seterusnya oleh sederetan keluarga besar endarti.

Empat kilometer meninggalkan rumah akad nikah itu, mendadak pikiran pamungkas menjadi kosong. Karena dirasa kejadian ini jarang ia terima, motorpun dihentikan, pikirnya dia bersama sepupunya, dia tidak mau menunjukkan rasa sedihnya pada sepupunya. Ditempat dia berhenti terlihat kantor polisi, pamungkas menjalankan sepeda motornya menuju kantor polisi. Dia menaiki tangga untuk menemui segerombolan polisi yang sedang ngobrol-ngobrol dipos penjagaan, pamungkas menanyakan rute jalan menuju jogja dengan meminta kertas untuk dibuatin peta. Polisi-polisi itu sempat terdiam bingun, kemudian mereka menggambarkan rute-rute menuju jogja. Tanpa basa-basi busuk, kulangkahkan kaki menuju motor dan sepupuku melanjutkan perjalanan, kira-kira dialangkah setelah meninggalkan tempat itu pamungkas baru sadar, dia belum mengucapkan terima kasih pada polisi-polisi itu, dia membalikkan badan dan mengucapkan terima kasih.

Pikiran pamungkas masih belum bisa bekerja dengan maksimal, pikirannya masih berada di tempat akad nikah pacarnya. Dia dipukul-pukul punggungnya oleh sepupunya, sepupunya tau kalau pamungkas sedang tidak konsentrasi. Karena dia juga tidak tidak bisa mengendarai sepeda motor, dia hanya pasrah pada pamungkas untuk dibawa kemana. Setelah satu kilometer dari kantor polisi itu, ada jalan yang bercabang, pamungkas tidak melihat peta yang dibuatin oleh polisi-polisi itu, dia lebih mempercayai intuisinya, dia mengikuti kata hatinya untuk jalan lewat mana. Pikirannya kembali seperti sedia kala. Dia tau jalan yang sedang dilaluinya tidak dapat menghantarkannya ke jogja tapi tetap dia melaju dan mengikuti kata hatinya untuk mengiringi putaran roda motor menyusuri jalan itu. Tigapuluh menit kemudian terlihat penunjuk arah, yang satu menunjuk arah jodja dan lainnya menunjukkan rumah sakit. Pamungkas seperti disambar kilat disiang bolong, dia telah ditunjukkan oleh intuisinya jalan yang ditempuh pacarnya ketika berangkat bekerja dan bertemu dengannya waktu-waktu lalu. Dia merasa puas dengan intuisinya yang menunjukkan perjalanan rasa pada suatu kejadian yang belum pernah diketahui, kini dia tau tentang perjalanan yang ditempuh keseharian pacarnya. Karena dia sudah tau yang sebenarnya, dia langsung menuju rute jogja.

Berselang beberapa detik meninggalkan papan penunjuk rumah sakit itu, sms dari pacarnya datang. Pamungkas tak lekas membalasnya. Tigapuluha menit yang kedua pamungkas mulai merasakan lapar, dia berinisiatp mencari rumah makan. Di jalanan itu tidak sulit menemukan rumah makan. Sepupunya juga ikut makan dan tereran-heran melihat pamungkas, karena porsi pamungkas saat itu tidak seperti biasanya. Dia memesan tiga porsi dan itu untuk dia sendiri. Sepupunya hanya melihat dan tidak berani berkomentar. Setelahs elesai makan, dia membalas sms pacarnya yang beberapa jam lalu telah menikah dengan orang lain…………………..

Mama atau endarti, kini hanya sebuah panggilan dan menjadi kenangan masa lalu yang menyakitkannya. Dia tidak pernah mendapatkan jawaban, kenapa mamanya harus menikah dengan orang lain. Hari-hari pilu, ditanggungnya. Dia diselamatkan oleh konselornya yang setia menemani. Setelah seminggu setelah akad itu, endarti menanyakan siapa yang memeritaukan acara pernikahannya padaku. Jawab aja dari nomor yang tidak pernah kukenal dan kusertakan nomor itu. Nomor yang tidak dikenal itu, nomor suaminya. Suaminya menyangka bahwa nomor ponsel pamungkas adalah nomor sodaranya karena nama yang diberikan nama sodaranya.

Pesan singkat konselor itu kini telah tergenapi “jangan percaya janji yang ketiga ketika yang pertama dan kedua tak pernah ditepati”, endarti tidak dapat menepati janjinya untuk menghubungi kalau dia menikah. Kalau bukan alam yang berbuat hal demikian, pamungkas tidak pernah tau tentang pernikahan pacarnya, padahal mereka telah berjanji tentang itu. Tidak terlalu dalam penderitaan yang pamungkash alami, alasan-alasan atas itu semua telah tergenapi dan endarti bukan perempuan yang menjadi idaman pamungkas. Endarti jarang menepati janji yang diikrarkan, padalah janji-janji itu ikatan yang harusnya ditebus dengan kesungguhan dan ketulusan hati. sebulan setelah akadnya endarti menghubungi pamungkas, dia menyesal menerima bujukan orang tuanya, dia telah dijodohkan karena banyak hal juga yang menjadi pertimbangannya dia menerima itu bagian dari balas budi terhadap kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya.

Satu bulan setengah setelah akad itu, beberapa kali keluhan endarti sampai ke pamungkas lewat sms. Dia merasa butuh penyesuaian yang mendalam dengan suaminya. Dia tidak pernah berpikir orang menikah akan seberat itu. Aku hanya bisa menyarankan untuk mengkomunikasikan hal itu pada suami, ungkap pamungkas tiap kali keluhan-keluhan itu datang menghampirinya.

-  -

Kesetiaan Pamungkas Di Uji

Setelah tanggal 11 Okt 2006 lalu, Pamungkas seolah memiliki harapan untuk bisa mempersatukan dirinya dengan Endarti. Pada hubungan yang lebih serius (red. Maksude pacaran gitu loh). Alasan-alasan untuk membangun hubungan itu pun terus mengalir, dengan asumsi Endarti pun merespon gerakan hati Pamungkas. Tapi bisa juga dugaan Pamungkas keliru, hubungan yang sedang di cobanya diakhiri dengan ketidaktepatan waktu sebagai alasan.

Usahanya terus diperjuangkan tanpa mengenal batas waktu, walau ruang sudah memisahkan mereka dari pertemuan ke pertemuan. Hanya bentuk komunikasi yang sudah di mulai saat keduanya membutuhkan panggilan mesra untuk mempererat ikatan jalinan yang entah seperti apa bentuk ikatannya. Desember kelabu desiran angin darah daerah sang cewek membwa pesan kasih, Endarti menghubungi Pamungkas, mereka mneyambung benang merah yang sebelumnya tak sempat terlihat. Mereka jadian, walau tidak dengan pertemuan. Mereka berpacaran di dunia maya dengan perantara ponsel yang mereka miliki. Pada hubungan ini mereka punya panggilan khusus Pamungkas di panggil AYAH dan Endarti di panggil MAMA.

Malam-malam yang dingin kini sudah tak terasa dingin lagi, waktu tidur tergantikan obrolan-obrolan untuk meraih ikatan rasa. Tanpa rasa jenuh, hubungan mereka saut menyaut merangkai pagi, mencipta kenangan atas kerinduan yang terus tertumpuk.

Endarti tak kenal lelah juga, tiap jam 23 dia selalu mendahului untuk menelpon, kadang Pamungkas sendiri banyak kegiatan yang harus dikerjakannya waktu malam. Tapi itu bagian dari bumbu-bumbu cinta mereka. Cerita-cerita keseharian mereka yang menghangatkan percakapan mereka. Pernah suatu malam Pamungkas harus menyelesaikan tugasnya, rutinitasnya untuk ngobrol engan sang pujaan pun harus ditangguhkan, sang pujaan marah ngambek sampai dan tetap nelpon untuk mencari tau kenapa Pamungkas tidak mau ngobrol saat itu. Malam berikutnya mereka tidak telpon-telponan lagi. Bagi pamungka, dia malah bersukur karena bias tidur, karena siangnya dia dipadatkan oleh kesibukan-kesibukan di tempat kerjanya. Malam ketiga Endarti mulai menhubunginya lagi dan percakapan mereka diakhiri sampe adzan subuh seperti waktu-waktu sebelumnya.

Sang cowok mulai tidak nyaman dengan hubungan ini. Banyak waktu yang tersita untuk ceweknya yang tak pernah kunjung ketemu ke tiga kalinya. Dia sempat putus asa untuk cepat-cepat meninggalkannya, tapi dia selalu terngiang cerita ibunya supaya jangan pernah menyakiti perasaan perempuan. Pertempurannya melawan pikirnya sangat keras, sampai dia sering berbohong pada Endarti kalo dia tetap nyaman berhubungan dengan cara seperti itu.

Pada suatu sore Pamungkas tidak sengaja memperhatikan seorang perempuan di tempat kerjanya. Perempuan itu sedang berwudu (bersih-bersih kemudian melakukan sholat), dan Pamungkas menyelidik apa yang hendak dilakukan perempuan itu. Ternyata dugaannya tepat, perempuan itu akan melakukan sholat ashar (plus minusnya pukul 16.30an). Pamungkas mencoba untuk lebih dekat dengan perempuan itu dengan basa-basi yang tidak biasanya dia lakukan. Tapi perempuan ini menanggapi dengan ramah dan santun. Dalam percakapan singkat itu Pamungkas sering membandingkan sikap Endarti dengan perempuan itu. Pamungkas sudah mengenalnya perempuan ini sejak setahun yang lalu, tapi dia tak pernah memperhatikan ada perempuan ini sampai detail, sampe-sampe dia terkagum-kagum dengan keramahan sang perempuan yang tak pernah dia dapat pada perempuan lain selama perjalanan hidupnya kecuali ibunya sendiri. Tak terasa mereka ngobrol sampai jam 21.00 di tempat kerja mereka.

Mereka melanjutkan percakapannya di lesehan depan jalan taman siswa sambil menikmati nasi goring kerang. Mereka sama-sama menyukai nasi goreng kerang dan suka juga dengan buku-bukunya mbah pramoedya. Obrolan di lesehan itu berakhir sampai jam 23.30an mereka terlena dengan waktu, lupa juga kalo malam itu adalah malam minggu. “Herannya perempuan itu juga gak ada yang ngapelin” pikir Pamungkas ketika mempersilahkannya pulang, karena perempuan itu sudah beberapa kali di telpon ibunya.

Hubungannya dengan Endarti seolah terhenti ketika Pamungkas membayangkan perempuan yang pernah diajaknya makan nasi goreng kerang itu. Dia mulai dengan kebohongan pertama, kedua dan seterusnya ketika ditanya-tanya oleh Endarti. Suatu malam ketika Pamungkas bersama perempuan itu (sebut saja namanya shinta), dia tidak mau mengangkat telpon dari Endarti dan telpon-telpon lainnya. Dia sangat jatuh dan jatuh lebih dalam menerobos kesadarannya kalo dia masih punya ikatan dengan pacarnya di dunia maya.

Pamungkas jatuh kedalam lembah yang sebelumnya dia belum pernah rasakan. Dia mendapatkan kenyamanan ketika bersama shinta, walau waktu bersamanya sangat singkat tapi dia merasakan kebahagiaan hidup. Pikiran Pamungkas betul-betul terasuki alunan merdu suara shinta (padahal shinta menganggap itu satu kewajaran biasa) ketikangobrol di suatu pertemuan dan di gagang telpon. Karena keduanya juga suka membaca, hampir tiap ada acara pameran buku, mereka terlihat bersama untuk mengunjunginya. Seolah medan magnet berlawanan mereka miliki, ketika mereka tidak berada ditempat yang jauh rasanya ikatan mereka selalu menarik-narik. Pamungkas betul-betul hendak melupakan perasaannya pada Endarti untuk berpindah ke shinta. Dan shinta orang menarik untuk menjadi teman ngobrol, tidak pagi, siang, malam atau dini hari dia selalu meluangkan waktunya untuk Pamungkas. Walau hubungan mereka tanpa status pacaran, tapi informasi yang mengalir diantara keduanya sama persis seperti orang pacaran.

Tak terasa bergulir waktu membutakan segala yang mengiringi perjalanan pamungkas menjalin asmara diam-diam dengan shinta. Kabar dari Endarti-pun sudah berkurang dan jauh lebih berkurang. Seminggu biasanya sampai berhambuaran ratusan bahkan ribuan sms dan telpon, sekarang hanya dua dan lebihnya sms saja. Perubahan yang drastis. Perubahan sikap yang jauh dari perkiraan sebelumnya. Hampir tiap denyut nadi pamungkas kini seperti tersenandungkan nada indah nama shinta. Dari bangun tidur, diperjalanan, beraktifitas keseharian dan sampai tidur lagi, yang ada di kepala pamungkas hanya shinta. Kini kenangan bersama endarti sedikit-sedikit terhapus dalam memori pamungkas.

Suatu sore, disaat endarti menyempatkan main ke jogja, dia menghubungi pamungkas untuk pertemuan ketiga. Tanpa pikir panjang pamungkas mengiyakan niatan pacarnya. Mereka berangkat ditempat yang dijanjikan. Satu jam pamungkas menunggu ditempat terjanji dengan hati gusar dan sang pacarpun tak pernah kunjung datang. Dua jam berlalu, air muka pamungkas sudah terlihat masam dan tidak enak untuk dipandang, seolah mendung hitam dan kilatan-kilatan guntur bersemayam dimukanya. Tiga setengah jam pun berlalu dan pamungkas masih tetap meunggu pacarnya di tempat yang dijanjikan itu. Ponsel ditentengnya untuk memastikan kalo tiba-tiba pacarnya menghubungi, dia tidak hanya nunggu, dia juga menhubungi ponsel pacarnya berkali-kali tapi tak pernah dijawab. Pikiran pamungkas sudah panik, tiap ada perempuan yang berjalan ke arahnya, dia berharap itu adalah pacarnya. Empat jam masa penantian tak pernah jelas. Ponselnya seolah ingin dibantingnya ditrotoar jalan tempat terjanjinya, tapi itu harta satu-satunya yang berharga saat itu, tak mungkin dibantingnya. Dia hanya pasrah pada dirinya untuk menerima kenyataan, dia telah diperdaya.

Tengah malam pamungkas baru sampai di kosnya. Karena pikiran masih terbebani oleh permainan pacarnya, dia merasa tidak betah tinggal diam di kosnya, dia mengambil kendaraanya mencari warnet untuk melihat-lihat emailnya. Siapa tau ada pesan penting untuknya. Pamungkas kembali ke kos untuk merebahkan badannya tapi pikiran itu masih tetap berada di ujung kepalanya. Dia baru sadar, dia mulai merasakan dan mengingat-ingat perjalanan yang selama ini mereka jalin untuk berhubungan. Dia telah mengabaikan pacarnya selama 5 bulan dan menurutnya itu bukan waktu yang pendek. Pikirannya juga melayang membayangkan pacarnya dan terlintas juga bayangan shinta yang waktu itu ikut andil dalam hubungan asmara mereka. Dia mencoba untuk menyeselai perbuatan yang telah diperbuatnya. Karena dia juga merasa takut bercerita dengan pacarnya tentang perselingkuhannya dengan shinta, dan tak pernah terwujud pengakuan atas perselingkuhannya. Walau demikian pamungkas berjanji pada dirinya untuk tetap setia dengan pacarnya. Dimulai lagi percakapan-percakapan sedderhana dari ponsel-ponsel mereka. Mereka kembali jalan dan tak terasa tiap malam mereka kembali seperti sebelum perselingkuhan. Pamungkas mencoba dan jujur pada shinta, kalo dirinya sudah punya pacar, shinta pun mengerti dan itu adalah bagian dari perjalanannya. Shinta sendiri menganggap perjalanannya dengan pamungkas adalah bagian dari penjajagan dirinya pada pamungkas untuk lebih memahami perasaan cowok. Impaslah pikir pamungkas ketika pembicaraan, pembenaran dan keterangan lain saling menggenapi diantara dia dengan shinta. Hubungan perselingkuhan itupun tak pernah diketahui oleh endarti.

- -

Untuk Tau, Butuh Waktu

Kecuali dia, hehehehehehe

Tepatnya 11 Juni 2005 di suatu tempat di kota pelajar, ada pertemuan cowok dan cewek (sambil diiringi lagu "kemesraan") yang sebelumnya tidak pernah kenal dan tak kan mungkin kenal, hanya karena satu pesan yang menjengkelkan dan sepertinya membuat penasaran, hingga pertemuan hari itu pun terwujud dengan disaksikan bintang-gemintang yang terus menyorot wajah kedua sosok itu (kok ngelantur yak). Pertemuan hari itu membekas di antara keduanya, cowoknya bernama Pamungkas dan ceweknya bernama Endarti, beberapa bulan setelah pertemuan itu mereka merencanakan mengadakan pertemuan kedua. karena kesibukan diantara keduanya juga lumayan padat, selalu gagal karena alasan-alasan praktikum dan sebagainya. Pamungkas terus meyakinkan Endarti, setiap pertemuan pasti ada perpisahan dan setiap proses memiliki makna.

Waktu pun berjalan begitu cepat. Endarti telah menyelesaikan studinya dan meminta Pamungkas untuk datang menghadiri wisudanya. Tanpa basa-basi Pamungkas menolak begitu saja, alasan sederhananya sudah sekian lama tidak ada komunikasi dan tiba-tiba ada ajakan untuk hadir pada acara wisuda itu. Pamungkas mulai berpikir macem-macem karena sebenarnya juga pingin berangkat untuk mehadiri wisuda sang cewek yang meminta sehari sebelum acara itu. karena kesibukan dan padatnya jadwal kesehariannya Pamungkas menolak seolah tidak pernah merespon tentang masa lalunya dengan dia. Dalam hati Pamungkas, kan cuma ketemu sekali dan itu sudah lama sekali kok tiba-tiba seperti ini sih, tapi di benaknya yang lain sayang dong kesempatan seperti ini terlewatkan begitu aja, apalagi dia cewek idaman Pamungkas itu (lho kenapa tidak gamprat aja brur). waktupun terus mengalir sesuai dengan alurnya yang tidak dapat di tahan.

Tiga hari menjelang hari raya fitri saat berbuka puasa, Pamungkas menghubungi Endarti. Dia mengirimkan pesan yang berisi “selamat berbuka” dan bla, bla, bla, bla….tak pernah sadar dan sangat mengejutkan ketika Endarti langsung menjawab “inalillahi wa ina illahi ra jiun”. Serasa petir menyambar dengan kilatan hebatnya menyayat-nyayat pikiran yang kian menjadi. Tanpa basa-basi Pamungkas menawarkan untuk menemani Endarti dalam dukanya. Endarti pun menerima Pamungkas. minggu itu pun hubungan diantara mereka terjalin seolah ada ikatan yang terus mengikat dan semakin melekat. Waktu terus mengawasi perjalanan mereka. Waktu terus mencatat, lima bulan telah berlalu dari pertemuan pertama. Belantara kisah keduanyapun mulai terasa pudar, seolah terhempas waktu yang semakin menua dan usang.

Menjelang tahun baru 2006, persis tanggal 31 Desember 2005. di kontrakan Pamungkas mengadakan acara jalan-jalan ke pantai. Serombongan kecilpun berangkat dengan berkendara sepeda motor rame-reme (seperti konvoi lho) sambil bercanda dan sejumlah aktivitas kecil perjalanan supaya sang supir tidak ngantuk, hehehehehe. Tenda pun dipasang beramai-ramai, secara hujan turun sudah mendahului pemasangan tenda, serombongan itu pun kehujanan. Malampun tiba, malam tahun baru 2006 hampir tiba dan celotehan-celotehan panitia acara mengisi ruang waktu itu sembari menunggu bergulirnya pukul 00.00 tanggal 1 terompet tahun baru telah tertiup, riuh gemuruh alunan jeritan-jeritan petasan dan loncatan bunga api menghias pinggiran laut selatan. Gemuruh ombakpun padam tertahan karang menjulang diatas dasar. Tahun 2006 telah datang. Pagi itu lumayan nyaman di kondisikan oleh panitia dengan memutari api unggun yang terus dipertahankan bara-nya tetap menghangatkan tubuh-tubuh yang sempat terguyur hujan sebelum jam 12.00.

Pagi tiba dengan hiasan celotehan para penikmat suasana menjelang fajar. Dari obrolan ringan sampe yang berbau politik, muncul seolah kebutuhan yang terus mengalir dengan indahnya. Pamungkas yang saat itu sedang memperhatikan desiran ombak yang terus berdesis diantara karang-karang pemecah ombak, tak sadar matanya mendapati sosok wajah yang memancar dan terpancar ayu. Pikiran Pamungkas mulai terganggu dengan pandangan itu. Dia mulai memikirkan sejumlah cara, beruaya untuk bisa ngobrol dengan gadis yang dilihatnya itu. Serangkaian ceritapun mengalir seolah tanpa rencana dan begitu derasnya ungkapan-ungkapan perhatian yang tertujukan gadis itupun termakan dengan dahsyatnya (hehehe…tepat sasaran bro).

Pagi menjelang fajar, dihujani bahasan-bahasan yang terus mengarah Pamungkas dengan gadis itu. Suasana sudah tidak bisa menjadi dingin lagi, walau bara api unggun sudah mulai terlihat padam dan sudah tidak bisa diharap fungsinya suasana di lingkaran itu terus menghangat dengan memojokkan Pamungkas untuk jadian dengan gadis itu. Terutama kakak gadis itu, bersemangat sekali ketika ada lontaran sederetan isu jadian….lho kok bisa yach! Benak Pamungkas terus bertanya kenapa ini menimpanya! Tak panjang cerita akhirnya Pamungkas ngajak jadian gadis itu. Gadis itu pun tampak merespon. Tahun baru 2006 membawa berkah bagi Pamungkas, dia telah mengakhiri masa jomblonya saat itu, dan ini yang yang pertama baginya. Eiiiiit ternyata gadis itu pun yang pertama, jadi mereka berdua sama-sama yang pertama (aneh banget yak ^%$^$^%$#).

Bulan pertama tahun 2006 Pamungkas asik berpacaran dengan gadis yang ditemuinya. Masa lalunya tentang para gadis yang pernah menjadi idolanya seakan musnah ketika mendapatkan gadis ayu itu (menurut Pamungkas sech). Tanggal 4 januari ada semacam ikrar diantara Pamungkas dengan gadis itu, keduanya saling memegang janji yang mungkin tidak semua pasangan bisa ngelakuinnya (kali yak, hehehehehe). Tanggal 4 Pebruari Pamungkas telpon gadisnya, dengan menenteng sebuah pujian dan perhatian yang dibungkus dengan kata-kata indah (penyair kali), respon yang terdengar digagang telpon Pamungkas, gadis itu minta putus. Pamungkas terus meyakinkan bahwa ini hanya sebuah lelucon yang hanya menjadi bumbu hubungan ini. Ternyata pernyataan sang gadis sangat serius, dia minta putus dan tak ada argument lain selain minta putus. Pamungkas mulai gundah dengan masalah baru ini, dia baru mengalami pergolakan hati, serasa dihadapkan pada pilihan untuk memakan buah simalakama. Dengan perdebatan yang tak berlandasan alasan yang masuk akal, mereka putus dan tak ada jalinan hubungan pacaran lagi.

Kau ada dimana…

Kau ada dimana, kau berada dimana…….

Ketika haripun tenggelam

Ketika rembulan pun tiba, kau ada dimana, kau berada dimana......


Ketika malam pun berwarna, dan yang lainnya pun berdansa, kau ada dimana, kau berada dimana......

Mungkin diriku bagimu tak ada artinya, tapi.....

kuingin sebaliknya kuharap kau disisiku bila hatiku merindu, tapi..... kau tak kan pernah tiba jua....


kala hati terpecah dua, air mata terjatuh sudah, kau ada dimana, kau berada dimana...

Mungkin diriku bagimu tak ada artinya, tapi....

kuingin sebaliknya kuharap kau disisiku bila hatiku merindu, tapi..... kau tak kan pernah tiba jua....


mungkin diriku bagimu tak ada artinya, tapi.....

kuingin sebaliknya kuharap kau disisiku bila hatiku merindu, tapi.... kau tak kan pernah tiba jua....

kau ada dimana, kau ada dimana, kau ada dimana.....kau tak kan tiba jua....


Hari-hari Pamungkas mulai di hiasi rasa-rasa bersalah, karena tak dapat mempertahankan pacarnya yang pertama untuk tetap menjadi pasangan. Bulan keduapun terisi kehampaan yang terus mengiringi keseharian Pamungkas. dia masing terngiang masa pacarannya yang pertama itu. Dari komik, komik, komik, komik dan komik lagi, dia hanya berteman komik, sebagai pelariannya. Dan kalo malampun tiba, dikepalanya mulai terbayang sejumlah minuman yang akan diminumnya supaya bisa menghilangkan rasa bersalahnya karena tindakan selama pacaran dirasa kurang berkenan di hadapan pacarnya ato what-ever-lah yang jelas dia butuh obat untuk penyakit barunya ini.

Penyakitnya berangsur pulih dengan konsultasi disana sini dan entah dari mana dia mulai memikirkan tentang masa depannya yang selama ini tertunda, tenggelam di masa yang gak jelas arahnya dengan memikirkan mantan pacarnya yang sebenarnya tidak pernah mencintainya. Rupaya tempat yang menjadi andalan untuk nongkrongnya membuka rekruitmen untuk suatu posisi yang saat itu menjanjikan untuk batu loncatan karirnya di belantara LSM. Bermodal rasa percaya diri bahwa dia bisa menghilangkan penyakitnya, dia maju dan tidak melihat ke belakang, dengan gagah memasuki ruang yang sebenarnya belum pernah di sentuhnya. Sejumlah aktivitas ternyata lumayan bisa mengurangi beban yang selama ini menimpanya.

Suatu hari pada malam yang kelam Pamungkas penuh dengan pekerjaan-pekerjaannya, dari pagi sampe pagi lagi dia belum beranjak dari tempat duduknya di depan komputer, tak terasa kalo kumandang adzan shubuh dan menggema. Pamungkas mengakhiri pekerjaannya dan mapan untuk tidur, sekitar 1,15 jam rumah yang ditempatinya terguncang dengan 6,1 scala rithcer, Pamungkas lari meninggalkan rumah dengan ketergesaannya. dari arah lain terlihat kelebatan-kelebatan orang lari dengan begitu cepatnya seolah mencari perlindungan seaman mungkin, berita tentang guncangan itu pun membanjiri kota itu dan terdengar isu merapi meletus. hampir semua orang melirik ke ruas sebelah utara dan memperhatikan gerak-gerik sang merapi. pencarian tau tentang isu itu pun kandas disitu, karena waktu masih menunjukkan pukul 6-an pagi dan belum banyak informasi yang valid. Pamungkas kembali ke kamarnya untuk melanjutkan tidurnya yang tersita oleh guncangan. dengan dengkuran yang panjang seoalah kenikmatan tidur hanya miliknya, tidak lama kemudian dia dibangunkan oleh sodaranya yang didaerah asalnya kalo, keadaan Pamungkas baik-baik saja, karena kabar di TV sangat mengejutkan, kota pelajar itu telah terserang gempa dengan kekuatan yang luar biasa dahsyat. pikiran Pamungkas mulai tersiksa dan terbang menelusuri cewek yang pernah dikenalnya yang mengaku berasal dari daerah bantul itu. kalut dan sulit untuk di ungkapkan hanya bisa di rasakan dengan perasaan yang tersiksa, ditambah lagi dengan nomor Endarti tidak bisa dihubungi satu pun.

Tiap ada laporan yang terdengar dari radio, Pamungkas terus menelusuri Endarti dengan penuh harap dapat menemukan cewek idaman yang pernah mengabaikannya. kali ini benar-benar kalut campur penyesalan tanpa arti. waktu terus berjalan dengan aktivitas yang semakin tidak menentu, karena Pamungkas juga seorang volunter, dia selalu mencari cara supaya bisa di tugaskan pergi ke daerah dimana cewek idamannya tinggal. tugas ke daerah cewek itu pun tak kunjung datang dan tak pernah datang. dengan rasa penasaran hari kedua pascagempa itu Pamungkas memberanikan diri untuk mencari sendiri ke tempat tujuan. bodohnya Pamungkas hanya tau kabupaten dan kecamatannya aja, tak pernah tau alamat lengkapnya tempat Endarti idamannya. kegelisahannya pun kian bertambah, dan terus bertumpuk-tumpuk. dengan penuh harap ada kabar tentang cewek idamannya, dia berusaha menghubungi nomor yang pernah di berikan oleh cewek itu ke dia. selama dua hari serasa darah tak sanggup lagi bertahan dalam tubuh Pamungkas, dia hanya bisa merenungkan setiap perjalanan waktu yang selama ini dialaminya dengan cewek itu dengan memegangi HPnya dan menenteng nomor Endarti itu, hampir tiap detik dia hubungi nomor yang tak pernah tersambungkan.

Alhasil, Tuhan berkehendak pada Pamungkas untuk dapat berhubungan dengan Endarti, nomornya bisa menghubungi nomor Endarti, walau dengan sinyal yang tidak sejernih biasanya, seolah ada air segar menyiramkan ke tubuh Pamungkas. air mukanya berbinar-binar seolah dia mendapat surga yang pernah dibayangkannya. dialogpun terus dilanjutkan dengan saling tertawa campur isak bahagia yang menyelimuti diantara keduanya (red. dari sumber yang kompeten). memang bulan yang berat untuk dilupakan, aktivitas Pamungkas dan Endarti kembali seperti biasanya, Pamungkas menjadi volunter dan Endarti menjadi perawat (setelah sekian lama menghilang, ternyata melamar jadi perawat di salah satu RSUD di jogja).

Komunikasi diantar kedua orang ini pun kembali terputus, seolah tidak pernah ada hubungan apapun. kira-kira 4, 5 bulan kemudian Endarti kembali menghubungi Pamungkas dengan tujuan yang sulit dimengerti Pamungkas pun mengiyakan untuk pertemuannya yang kedua dengan Endarti. karena dalam benaknya gak kepingin kejadian masa lalu terulang lagi dan kesempatan berharga lewat begitu saja. pertemuan itu pun terwujud tepat pada 11 Okt 2006 di tempat yang sama saat pertemuan pertama dulu.

Pada pertemuan yang kedua ini, diantara mereka sendiri sudah saling lupa wajah dan gaya. hanya bekal keyakinan yang mereka miliki, mereka dipertemukan oleh rasa yang ingin menjadi satu. apakah ini jawaban yang selama ini tertahan entah dimana, kemudian mengenapi setiap proses yang seharusnya bergulir sejak lama, atau untuk mengerti membutuhkan waktu yang panjang dan perjalanan yang berliku membuat segalanya terasa menyenangkan atau alam punya kehendak lain atas perjalanan yang tak pernah mengenal rasa letih dan ragu atas pencarian dan pembuktian rasa.

- -

Selasa, 21 Agustus 2007

bubur kacang ijo ditaburi kopi...

kok sepi banget yak...
orang-orang di sanggar pada kemana nech? langkah itu terus mengayuh sampailah pada warnet di depan pendopo tamsis. disana ada sop buah, coba ahh sapa tau seger. segernya sampe ke tenggorokan bo. satu teguk, dua dan seterusnya malah mbayangin sesuatu yang musti dicoba. dari depan pendopo tamsis itu lari menuju sanggar untuk mengambil motor yang di parkir di depannya. motorku kulaju menuju kos dan disana mulai menyiapkan beberapa bahan untuk kujadikan ramuan. ramuan ini bisa menyembuhkan sakit perut lho. yang kelaparan karena belum makan, bisa datang untuk mengujinya hehehehehe...

kacang ijo yang masih terbungus rapat dalam plastik dibuka. dituangkan kedalam mangkuk untuk pencucian dan dimasukan ke dalam panci, trus siapin beras juga dimasukin ke dalam panci. kompor dinyalakan dan sambil menunggu apinya biru beberapa gula jawa kusisirkan kedalam panci. api dah kelihatan biru dan disana terlihat menjilat-jilat pertanda siap membakar benda yang di atasnya. campuran kacang ijo dan beras tadi sudah mulai terlihat mendidih (airnya lho), mulai deh proses aduk mengaduk dilancarkan. dan beberapa ramuan dimasukan ke dalam panci, diantara: gula pasir secukupnya, garam dan yang terpenting kopi.

setelah setengah jam berlalu, adukan itu terasa tidak ringan lagi, ada sesuatu yang menghambatnya. gerakan yang sebelumnya biasa saja sekarang bertambah berat, pikirku dalam hati "beras dan kacang ijonya sudah menyatu dan menjadi satu kesatuan yang utuh disebut bubur". akhirnya bubur kacang ijo dengan campuran yang macam-macam ini jadi. ku coba rasain dan kurang kumantap kalo belum ditaburin kopi. tidak sabar perut memanggil bubur itu, tangan membantunya mengambil sendok dan mangkuk, mulut dibuka dan mengunyah-nguyah bubur itu. rasanya sampe ke ubun-ubun lho (kepanasan maksude, hehehehehehe). ternyata ramuan ini menarik kapan yak buat lagi....

Sabtu, 30 Juni 2007

sekecap madu...

siang hari seperti biasanya, ibuku menanyakan hal sama copy seperti hari-hari sebelumnya. apa kabar pak?, udah makan belum dan seterusnya yang berbau rutinitas. sebenarnya aku sendiri bingung kenapa harus ada pertanyaan yang sama tiap hari, kadang dalam sehari bisa lebih dari 3 kali dengan pertanyaan yang beresensi sama. apakah ini sebuah pertanda atau memang tanda-tanda yang belum ku mengerti maksudnya.

sebelum aku berangkat dengan adikku menemukan tempat untuk cuci cetak photo, dia menanyakan hal dengan esensi yang sejenis dengan waktu siang. aku menyangkalnya kalo aku tidak baik-baik saja, pada jawaban berikutnya dia merasa aneh bahwa kenapa aku tidak baik-baik saja dan banyak pertanyaan lain yang bermunculan.

aku belum bisa memahami proses ini, kenapa harus ada pertanyaan apa kabar?......