Usahanya terus diperjuangkan tanpa mengenal batas waktu, walau ruang sudah memisahkan mereka dari pertemuan ke pertemuan. Hanya bentuk komunikasi yang sudah di mulai saat keduanya membutuhkan panggilan mesra untuk mempererat ikatan jalinan yang entah seperti apa bentuk ikatannya. Desember kelabu desiran angin darah daerah sang cewek membwa pesan kasih, Endarti menghubungi Pamungkas, mereka mneyambung benang merah yang sebelumnya tak sempat terlihat. Mereka jadian, walau tidak dengan pertemuan. Mereka berpacaran di dunia maya dengan perantara ponsel yang mereka miliki. Pada hubungan ini mereka punya panggilan khusus Pamungkas di panggil AYAH dan Endarti di panggil MAMA.
Malam-malam yang dingin kini sudah tak terasa dingin lagi, waktu tidur tergantikan obrolan-obrolan untuk meraih ikatan rasa. Tanpa rasa jenuh, hubungan mereka saut menyaut merangkai pagi, mencipta kenangan atas kerinduan yang terus tertumpuk.
Endarti tak kenal lelah juga, tiap jam 23 dia selalu mendahului untuk menelpon, kadang Pamungkas sendiri banyak kegiatan yang harus dikerjakannya waktu malam. Tapi itu bagian dari bumbu-bumbu cinta mereka. Cerita-cerita keseharian mereka yang menghangatkan percakapan mereka. Pernah suatu malam Pamungkas harus menyelesaikan tugasnya, rutinitasnya untuk ngobrol engan sang pujaan pun harus ditangguhkan, sang pujaan marah ngambek sampai dan tetap nelpon untuk mencari tau kenapa Pamungkas tidak mau ngobrol saat itu. Malam berikutnya mereka tidak telpon-telponan lagi. Bagi pamungka, dia malah bersukur karena bias tidur, karena siangnya dia dipadatkan oleh kesibukan-kesibukan di tempat kerjanya. Malam ketiga Endarti mulai menhubunginya lagi dan percakapan mereka diakhiri sampe adzan subuh seperti waktu-waktu sebelumnya.
Sang cowok mulai tidak nyaman dengan hubungan ini. Banyak waktu yang tersita untuk ceweknya yang tak pernah kunjung ketemu ke tiga kalinya. Dia sempat putus asa untuk cepat-cepat meninggalkannya, tapi dia selalu terngiang cerita ibunya supaya jangan pernah menyakiti perasaan perempuan. Pertempurannya melawan pikirnya sangat keras, sampai dia sering berbohong pada Endarti kalo dia tetap nyaman berhubungan dengan cara seperti itu.
Pada suatu sore Pamungkas tidak sengaja memperhatikan seorang perempuan di tempat kerjanya. Perempuan itu sedang berwudu (bersih-bersih kemudian melakukan sholat), dan Pamungkas menyelidik apa yang hendak dilakukan perempuan itu. Ternyata dugaannya tepat, perempuan itu akan melakukan sholat ashar (plus minusnya pukul 16.30an). Pamungkas mencoba untuk lebih dekat dengan perempuan itu dengan basa-basi yang tidak biasanya dia lakukan. Tapi perempuan ini menanggapi dengan ramah dan santun. Dalam percakapan singkat itu Pamungkas sering membandingkan sikap Endarti dengan perempuan itu. Pamungkas sudah mengenalnya perempuan ini sejak setahun yang lalu, tapi dia tak pernah memperhatikan ada perempuan ini sampai detail, sampe-sampe dia terkagum-kagum dengan keramahan sang perempuan yang tak pernah dia dapat pada perempuan lain selama perjalanan hidupnya kecuali ibunya sendiri. Tak terasa mereka ngobrol sampai jam 21.00 di tempat kerja mereka.
Mereka melanjutkan percakapannya di lesehan depan jalan taman siswa sambil menikmati nasi goring kerang. Mereka sama-sama menyukai nasi goreng kerang dan suka juga dengan buku-bukunya mbah pramoedya. Obrolan di lesehan itu berakhir sampai jam 23.30an mereka terlena dengan waktu, lupa juga kalo malam itu adalah malam minggu. “Herannya perempuan itu juga gak ada yang ngapelin” pikir Pamungkas ketika mempersilahkannya pulang, karena perempuan itu sudah beberapa kali di telpon ibunya.
Hubungannya dengan Endarti seolah terhenti ketika Pamungkas membayangkan perempuan yang pernah diajaknya makan nasi goreng kerang itu. Dia mulai dengan kebohongan pertama, kedua dan seterusnya ketika ditanya-tanya oleh Endarti. Suatu malam ketika Pamungkas bersama perempuan itu (sebut saja namanya shinta), dia tidak mau mengangkat telpon dari Endarti dan telpon-telpon lainnya. Dia sangat jatuh dan jatuh lebih dalam menerobos kesadarannya kalo dia masih punya ikatan dengan pacarnya di dunia maya.
Pamungkas jatuh kedalam lembah yang sebelumnya dia belum pernah rasakan. Dia mendapatkan kenyamanan ketika bersama shinta, walau waktu bersamanya sangat singkat tapi dia merasakan kebahagiaan hidup. Pikiran Pamungkas betul-betul terasuki alunan merdu suara shinta (padahal shinta menganggap itu satu kewajaran biasa) ketikangobrol di suatu pertemuan dan di gagang telpon. Karena keduanya juga suka membaca, hampir tiap ada acara pameran buku, mereka terlihat bersama untuk mengunjunginya. Seolah medan magnet berlawanan mereka miliki, ketika mereka tidak berada ditempat yang jauh rasanya ikatan mereka selalu menarik-narik. Pamungkas betul-betul hendak melupakan perasaannya pada Endarti untuk berpindah ke shinta. Dan shinta orang menarik untuk menjadi teman ngobrol, tidak pagi, siang, malam atau dini hari dia selalu meluangkan waktunya untuk Pamungkas. Walau hubungan mereka tanpa status pacaran, tapi informasi yang mengalir diantara keduanya sama persis seperti orang pacaran.
Tak terasa bergulir waktu membutakan segala yang mengiringi perjalanan pamungkas menjalin asmara diam-diam dengan shinta. Kabar dari Endarti-pun sudah berkurang dan jauh lebih berkurang. Seminggu biasanya sampai berhambuaran ratusan bahkan ribuan sms dan telpon, sekarang hanya dua dan lebihnya sms saja. Perubahan yang drastis. Perubahan sikap yang jauh dari perkiraan sebelumnya. Hampir tiap denyut nadi pamungkas kini seperti tersenandungkan nada indah nama shinta. Dari bangun tidur, diperjalanan, beraktifitas keseharian dan sampai tidur lagi, yang ada di kepala pamungkas hanya shinta. Kini kenangan bersama endarti sedikit-sedikit terhapus dalam memori pamungkas.
Suatu sore, disaat endarti menyempatkan main ke jogja, dia menghubungi pamungkas untuk pertemuan ketiga. Tanpa pikir panjang pamungkas mengiyakan niatan pacarnya. Mereka berangkat ditempat yang dijanjikan. Satu jam pamungkas menunggu ditempat terjanji dengan hati gusar dan sang pacarpun tak pernah kunjung datang. Dua jam berlalu, air muka pamungkas sudah terlihat masam dan tidak enak untuk dipandang, seolah mendung hitam dan kilatan-kilatan guntur bersemayam dimukanya. Tiga setengah jam pun berlalu dan pamungkas masih tetap meunggu pacarnya di tempat yang dijanjikan itu. Ponsel ditentengnya untuk memastikan kalo tiba-tiba pacarnya menghubungi, dia tidak hanya nunggu, dia juga menhubungi ponsel pacarnya berkali-kali tapi tak pernah dijawab. Pikiran pamungkas sudah panik, tiap ada perempuan yang berjalan ke arahnya, dia berharap itu adalah pacarnya. Empat jam masa penantian tak pernah jelas. Ponselnya seolah ingin dibantingnya ditrotoar jalan tempat terjanjinya, tapi itu harta satu-satunya yang berharga saat itu, tak mungkin dibantingnya. Dia hanya pasrah pada dirinya untuk menerima kenyataan, dia telah diperdaya.
Tengah malam pamungkas baru sampai di kosnya. Karena pikiran masih terbebani oleh permainan pacarnya, dia merasa tidak betah tinggal diam di kosnya, dia mengambil kendaraanya mencari warnet untuk melihat-lihat emailnya. Siapa tau ada pesan penting untuknya. Pamungkas kembali ke kos untuk merebahkan badannya tapi pikiran itu masih tetap berada di ujung kepalanya. Dia baru sadar, dia mulai merasakan dan mengingat-ingat perjalanan yang selama ini mereka jalin untuk berhubungan. Dia telah mengabaikan pacarnya selama 5 bulan dan menurutnya itu bukan waktu yang pendek. Pikirannya juga melayang membayangkan pacarnya dan terlintas juga bayangan shinta yang waktu itu ikut andil dalam hubungan asmara mereka. Dia mencoba untuk menyeselai perbuatan yang telah diperbuatnya. Karena dia juga merasa takut bercerita dengan pacarnya tentang perselingkuhannya dengan shinta, dan tak pernah terwujud pengakuan atas perselingkuhannya. Walau demikian pamungkas berjanji pada dirinya untuk tetap setia dengan pacarnya. Dimulai lagi percakapan-percakapan sedderhana dari ponsel-ponsel mereka. Mereka kembali jalan dan tak terasa tiap malam mereka kembali seperti sebelum perselingkuhan. Pamungkas mencoba dan jujur pada shinta, kalo dirinya sudah punya pacar, shinta pun mengerti dan itu adalah bagian dari perjalanannya. Shinta sendiri menganggap perjalanannya dengan pamungkas adalah bagian dari penjajagan dirinya pada pamungkas untuk lebih memahami perasaan cowok. Impaslah pikir pamungkas ketika pembicaraan, pembenaran dan keterangan lain saling menggenapi diantara dia dengan shinta. Hubungan perselingkuhan itupun tak pernah diketahui oleh endarti.
- -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar