Selasa, 09 Oktober 2007

Dia Telah Dijodohkan

Hubungan dianatara mereka, endarti dan pamungkas semakin bersemi di taman bunga yang indah. Perjalanan mereka sangat mulus dan tak pernah ada gangguan disana-sini. Temen-temen mereka mendukungnya, walau kalangan tertentu saja yang tau hubungan itu. Hampir tiap ada jadwal jaga malam di tempat kerja pacarnya, pamungkas selalu menyempatkan datang untuk menemaninya. Jalinan kasih mereka semakin merasuk menebal seolah sepuhan-sepuhan itu menutup lobang-lobang yang dapat mengakibatkan kebocoran udara (istilah pengecoran logam). Sudah tidak menjadi hal yang aneh bagi penjaga rumah sakit itu ketika pamungkas datang disaat endarti mendapat giliran jaga. Petugas-petugas itu seolah mengerti kalo mereka pernah muda dan merasakan getaran-getaran jiwa yang saling menyaut. Benih-benih kasih mereka bertaburan diantara kerumunan pengunjung pasien yang dating di tempat jaga itu. Pasien-pasien itu seolah memberi waktu bagi kami untuk sering ngobrol bersama. Canda-canda kecil dari pasien dan pengunjung mengarah pada kami, dan itu kuanggap sebagai bumbu-bumbu di tempat ini, pikir pamungkas untuk menenangkan pikirnya, bahwa hubungan mereka di terima diantara ruang-ruang sempit pacarnya bekerja.

Mungkin alam bekerja sesuai dengan gayanya yang tidak dapat ditahan alurnya. Dalam seminggu dia bertemu dengan shinta, seolah ini bagian yang harus dia tahan dari rasa dan lainnya. Walau terkadang dia merasa tidak enak dengan shinta, karena mereka bekerja di tempat yang sama. Akhirnya pada suatu kesempatan pamungkas ditegur duluan leh shinta dari kabar dan lainnya. Ternyata pamungkas masih merasakan benih-benih yang pernah tertanam dalam dirinya tentang shinta. Dia terlihat gagap ketika ditanya ini, itu dan seterusnya oleh shinta. Percakapan kecil dilorong menjadi terasa mengasikkan bagi mereka sambil menenteng gelas masing-masing karena habis membuat teh hangat di dapur. Shinta juga sering menanyakan kabarnya endarti, kadang pamungkas di buat kikuk sendiri dengan kondisi demikian, jelas-jelas endarti bagian dari pamungkas yang sensitive dan shinta menyinggung-nyinggungnya tanpa ditutup-tutupi. Shinta seolah mengerti jalan pikiran pamungkas, ketika ngobrol yang dibahas hanya seputar hubungan pamungkas dengan endarti dan kuliahnya. Karena bagi shinta sebelum kita melangkah lebih jauh sebaiknya kuliah diselesaikan dulu. Tujuanmu datang ke jogja untuk kuliah kan! Ungkap shinta kepada pamungkas.

Pamungkas sering menimbang-nimbang nasehat dari shinta yang tiap minggu ketemu dua kali itu. Selain aktifitasnya kerja di tempat itu, pamnungkas juga akan menyelesaikan tugas praktik yang sesuai dengan jurusan dan bidannya disalah satu instansi atau perusahaan. Spirit untuk hidup bersama dengan pacarnya semakin bertambah tapi disisi lain terus menarik untuk menyelesaikan kuliahnya seperti yang dinasehatkan shinta. Mimpi-mimpinya tentang itu selalu berulang dan terus berulang. Seperti orang yang sedang bingung untuk memutuskan pilihan dalam perjalanan ini. Dia mencoba mengkomunikasikan masalah itu dengan pacarnya, tapi pacarnya seolah tak pernah mempedulikan yang sedang dialami pamungkas. Pacarnya hanya menikmati dunianya sendiri dan pamungkas hanya bisa menengadah meminta pertolongan hatinya yang selama ini ia dengarkan ketika diam.

Permasalahan itu tak pernah terjawab oleh endarti, walau tiap ada kesempatan pamungkas selalu menyisipkannya, nihil dan tak terjelaskan. Pamungkas mencari alternatif-alternatif pemecahan atas permasalahannya. Dia mendatangi shinta untuk sharing dan membicarakan masalahnya. Shinta membuka pintu lebar-lebar untuk permasalahan pamungkas. Hari pertama, shinta hanya mendengarkan, kedua mendengarkan, ketiga mendengarkan dan seterusnya hanya mendengarkan. Nasehat-nasehat yang pernah keluar dari mulutnya sudah tak pernah terdengar lagi. Shinta hanya menjadi pendengar cerita setia. Pamungkas tak jera juga menceritakan permasalahan-permasalahannya padahal dia sendiri tak pernah mendapatkan jawaban atas keluhan-keluhan yang tersirat dalam celotehannya. Walau seperti itu pamungkas mendapat kepuasan atas penerimaan permasalahannya oleh shinta. Dia tak pernah sadar kalau dirinya merasa sangat nyaman tiap kali menceritakan detail ceritanya pada shinta. Seringnya pamungkas mendatangi shinta untuk konseling tidak mengurangi kedatangannya pada endarti pacarnya yang sering mendapat giliran jaga malam.

Pada pertigaan pertama bulan april, endarti ulang tahun yang ke 23 tahun. Pamungkas sengaja untuk tidak mengkomunikasikan acaranya pada endarti. Dia hanya menceritakan kalau dia tidak bekerja pada hari ini, dia hanya akan berlibur dan menikmati hari itu untuk menemui dan menghabiskan waktu bersama endarti. Sejumlah hadiah dan kejutan-kejutan lainnya sudah disiapkan. Janjian untuk ketemuan ditempat pertama mereka bertemu menjadi pilihan tepat, pikir pamungkas. Merekapun dijanjian seperti yang disarankan pamungkas. Pada jam yang dijanjikan pamungkas berdandang tidak seperti biasanya, dia ingin pacarnya merasakan berkesan atas penampilan saat dia ulang tahun. Lima menit pertama dia memaklumi karena perjalanan dari rumahnya memang jau. Pamungkas merasakan hal yang aneh, jam yang berada di ponselnya serasa berputar lambat, diapun mulai sibuk untuk menghubungi pacarnya. Tapi tak pernah ada jawaban pasti atas kedatangannya. Dia tetap menunggu sampai tiga jam di tempat itu tapi tak pernah kunjung datang belahan jiwanya. Puisi-puisi tertulis di kertas bergaris yang bercorak bunga itu seakan-akan mencemoh dan meledek pamungkas. Hadiah-hadiah lainpun serentak menertawakan pamungkas yang lemas lunglai atas penantian yang tak tentu itu. Dia terus menghubungi pujaan hatinya yang sudah beberapa kali menghianati perjanjiannya.

Tengah malam sehari setelah hari perjanjian itu, pacarnya sms berisikan pesan marah, karena teks yang tertulis dengan huruf kapital. Dia marah-marah atas lambatnya respon pamungkas atas ulang tahunnya itu. Pamungkas langsung menjawab “kemarin gak datang, hadiahmu menunggumu”. Jawaban itu mungkin meredakan marahnya endarti pada pamungkas, tapi tak ada respon dan dan tak ada kelanjutannya sampai seminggu pasca ulang tahunnya. Pamungkas merasa kecewa terhadap endarti yang tak pernah menepati janjinya. Dia malas untuk berhubungan lagi dengan endarti pacarnya. Walau masih berpacaran tapi atmospir diantara mereka sudah tak terasa lagi, kalau mereka masih memiliki ikatan.

Dua minggu pasca ulang tahun pacarnya, pamungkas memberanikan diri untuk konseling pada konselornya, shinta. Dia menceritakan kejadian yang telah terjadi kepada konselornya, respon konselorpun hanya duduk manis dengan mata menatap tajam tapi memperhatikan tiap kata yang keluar dari sang klien. Dua jam mereka berada di dalam ruang konseling. Kakiku mulai melangkah keluar ruangan, konselor berpesan dengan nada santai “jangan percaya janji yang ketiga ketika yang pertama dan kedua tak pernah ditepati”. Aku hanya terdiam, tangan kanan yang meraih gagang pintu itupun terhenti ketika suara konselor itu mengalun. Dan dilanjutkan dengan anggukan kepala pamungkas, sambil melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan itu dan menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda selama dua jam itu.

Pamungkas menjalani hidupnya seperti sedia kala dan mendapat semangat tambahan untuk menyelesaikan kuliahnya. Dia mulai mengurus kerja prakteknya di instansi yang anggap dapat membuat pikirannya lebih berkembang. Suatu saat ketika dia sedang mengeluarkan proposal dan surat-surat permohonan kerja praktenya, rekan sekerjanya menabraknya dan berceceran dilantai. Tiba-tiba ada tangan kecil yang lentik membantu memungut surat-surat dan proposal pamungkas. Tangan itu hanya bisa kuperhatikan dan baru saja akan kuucapkan terima kasih, kulihat senyumnya yang membuatku kaget, karena dia, shinta. Kulihat air mukanya kagum dan bangga atas perubahan yang ada padaku untuk menyelesaikan kuliahku. Kulanjutkan niatku untuk mengucapkan terima kasih. Setelah masuk ruangan pamungkas mendengar dering suara ponselnya, dan dia tau itu adalah nada dering pacarnya. Dia tidak segera mengangkatnya. Dia hanya memperhatikan dan terus memperhatikan ponselnya yang berderik-derik. Karena sudah empat kali, pamungkas merasa tidak tega dengan kondisi itu. Tangannya meraih ponsel dan menerima panggilan itu. Benar adanya suara yang terdengar adalah pacarnya, yang merasa saat itu merasakan hal aneh dalam dirinya, kira-kira lima menit sebelum menelpon pamungkas. Pamungkas hanya terdiam mendengar cerita, mendengar perhatian pacarnya barusan dia timpa. Pikir pamungkas singkat, tadi kan hanya surat-surat dan proposalku yang terjatuh dan dibantu diambilin oleh shinta, tapi dia hanya diam mendengarkan celotehan pacarnya. Dia hanya merasa heran saja, karena sudah dua minggu lebih tidak ada komunikasi, tiba-tiba nelpon dan berkali-kali supaya diangkat.

Suatu malam dianatar lorong –lorong stasiun lempuyangan, pamungkas menghubungi pacarnya untuk berpmitan dan minta di doakan suapaya selamat dalam perjalanan. pamungkas mendapat undangan dari temannya yang berada di propinsi banten untuk menghadiri pernikahannya. Temannya ini, teman dekatnya waktu sama-sama menjadi volunteer di salah satu LSM di jogja beberapa tahun lalu. Walau jarak tempuh lumayan jauh, bagi pamungkas itu bagian dari tantangan untuk menemui dan memberi selamat bagi temannya. Endarti pun menemani perjalanan pamungkas lewat ponsel. Setelah selesai akad nikah pamungkas menghubungi pacarnya kalau dia telah menjadi saksi temannya yang nikah. Dan jawaban pacarnya “jangan-jangan ayah yang nikah ya”, pikir pamungkas ini hanya gurauan dan dia membalas “biasanya kalo orang ngomong gitu, biasa sudah dekat lho”, keduanya pun hanya tertawa dan tertelan oleh suasana adat disitu. Setelah perjalanan itu, rutinitas pamungkas semakin tertumpuk pekerjaan karena tertunda untuk membuat laporan, laporan dan laporan.

Seminggu setelahnya, pagi buta pukul 06.00an ponsel pamungkas berdering keras. Nada itu khusus bagi nomor yang tidak dikenal, pamungkas langsung tanggap dengan suara ponselnya, padahal dia baru tertidur jam 05.00an. kata pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, pikirannya penasaran dengan isi pesan itu. Pesan yang berisi undangan untuk datang diacara akad nikah. Karena pikirnya ini masih pagi dan belum sadar benar, dia mencuci mukanya dan kembali ke kamar untuk membaca ulang pesan itu. Pesan itu memang undangan untuk upacara akad nikah pacarnya. Pagi itu yang mulainya cerah-cerah saja, tiba-tiba gelap dan serasa sambaran-sambaran petir menghantam tiap micron hati pamungkas. Sesaat dia tidak dapat berpikir harus berbuat apa, hatinya terasa jatuh dan tercecer diantara duri-duri tajam yang menghujamnya berkali-kali. Dia menceburkan kepalanya ke dalam bak mandi di kosnya, lama didalam air dan sempat tersedak karena air bak itu masuk melalui celah hidung. Dia mencoba tidak percaya dengan pesan itu, dia berlari kencang melintasi gang-gang di daerah kos-kosannya, nafasnya tak beraturan dan dia terjatuh, tergelincir di dalam lobang got didekat kosnya. Matanya tak bisa dikendalikannya. Pandangan gelap tak lekang dari hadapannya, kaki diangkat terus bangkit dari lobang itu dan melanjutkan lari tanpa tujuan. Dia tak tau arah dan tujuannya entah kemana, pagi itu setalah nafasnya tidak terengah-engah kemudian memandangi tempat ibadah orang katholik didaerah banteng salah satu kampung di daearh sinduadi mlati sleman. Dia tak melihat lalu lalang orang masuk kedalam gereja itu, karena tepat dengan jadwal misa pagi. Dia masih memakai celana pendek 2 cm diatas lutut, pergelangan kakinya terlihat mengalir darah dan kaos putihnya yang sudah tidak layak disebut warna putih karena sudah terlihat hitam kecoklat-coklatan kontaminasi dari air got di dekat kos-kosannya.

Dia ditemukan oleh teman gereja, yang habis misa di gereja itu. Dia di bonceng dan ditunggui untuk mandi dan ditanya ini, itu dan ini, itu, tapi pamungkas hanya diam. Dia hanya bisa mengenang masa lalu bersama pacarnya yang kini akan nikah dengan orang lain. Dia teringat akan janji mereka, “yah (ayah), kalau ayah duluan nikah, mama pasti datang ketempat ayah nikah dan kalau mama nikah duluan berarti ayah juga harus datang ketempat mama nikah, ini janji kita lho, siapa yang tidak menepati pasti akan dapat karmanya”. Pamungkas langsung menghubungi shinta atas masalah yang sedang menimpanya. Shinta bersedia untuk ditemui dirumahnya dan disana pamungkas mencurahkan beban hatinya. Dia juga menceritakan janjinya pada shinta. Shinta kemudian bersaran “sebaiknya kamu jangan datang ke acara akad nikahnya karena aku gak yakin kamu bisa menghadapi ini disana”, aku berjanji pada shinta kalau aku harus menepati janjiku padanya, ungkap pamungkas memegang tangan shinta erat-erat. Sebelum meninggalkan rumah shinta, pamungkas menoleh dari balik pintu keluar tertuju pada shinta “satria tau peperangan ini akan membuatnya binasa, tapi dia tetap akan maju di medan perang ini” dan meninggalakn tempat itu dengan laju yang tidak menentu.

Pada hari kad nikah, pamungkas mengajak sodara sepeupunya yang perempuan untuk menemaninya untuk acara resepsi. Sepupunya tidak pernah tau akan menghadiri resepsi siapa, karena pamungkas sendiri tidak mau menjelaskan resepsi itu pada sepupunya. Sepupu perempuannya ternyata sudah pernah ketemu dengan pacarnya pamungkas ketika sampai tempat akad, sepupunya hanya terdiam dan bingun harus berbuat apa terhadap pamungkas. Pamungkas hanya dapat menyaksikan dari kejauhan pacarnya dinikahi laki-laki yang tidak pernah tau sebelumnya. Bingkisan yang dibawa oleh pamungkas sejumlah hadiah yang sebelumnya ditujukan untuk ulang tahun pacarnya. Hadiah-hadiah itu kini telah sampai pada penerimanya walau dengan suasana berbeda, pikir pamungkas kecewa atas semua yang pernah terjadi. Acara salam-salaman pun menjadi tradisi, sederetan tamu undangan berbaris ngantri untuk dapat menyalami kedua mempelai. Pamungkas menunggu dengan sabar tamu undangan itu sepi bahkan habis. Kira-kira tiga langkah disamping kedua mempelai itu, pengantin perempuannya melangkahkan kakinya untuk lari, karena pakaian kebayanya menghalangi kecepatannya untuk melangkah dan pamungkas langsung menarik tangan mempelai wanita itu erat-erat. Kejadian yang sulit dipahami oleh pamungkas sendiri, kenapa dia di undang tapi ketika hadir dia malah melarikan diri. Suasana di tempat itu tiba-tiba tegang, mempelai laki-laki hanya memandangi laki-laki yang tidak dikenalnya memegangi erat tangan istrinya. Dengan tanggap sepupunya pamungkas bertanya pada mempelai laki-laki, entah apa yang ditanyakan tidak terlalu dimengerti dan pamungkas melihat disebelah kanan mempelai perempuan itu terlihat sedu sedan menangis tanpa ditutup-tutupi, seolah tempat yang sebelumnya didesain gembira menjadi kesedihan dipihak penyelenggara. Tangan pamungkas masih memegangi tangan mempelai perempuan itu yang notabene pacarnya. Dia memberanikan diri bertanya pada pacarnya “yah, sama siapa datang kesini, kok ayah tau kalau mama nikah hari ini” dengan matanya yang digenangi air mata kemudian mengalir deras, walau tak bersuara tangisan, tapi pamungkas mengerti bahwa ini adalah rasa yang menunjukkan bahwa dia tidak ernah menghubungiku untuk acara nikah pacaranya. Pamungkas menjawab dengan terbata-bata “ayah datang bareng sepupu yang pernah kukenalkan pada mama waktu itu. Dilepaskan pegangan erat itu dan badan pamungkas di putar untuk kembali menyalami mempelai laki-laki. Dalam langkah menuju samping kanan mempelai wanita itu, mata pamungkas melirik memperhatikan pacarnya yang terlihat sedih menutupi hidung dan mulutnya dengan sapu tangan. Langkah itupun semakin mendekat seorang perempuan paruh baya, dan pamungkas tau kalau itu adalah mbaknya endarti yang sering menerima telponnya beberapa minggu yang lalu. Diraihnya tangan perempuan paruh baya itu erat-erat oleh pamungkas, dan seterusnya oleh sederetan keluarga besar endarti.

Empat kilometer meninggalkan rumah akad nikah itu, mendadak pikiran pamungkas menjadi kosong. Karena dirasa kejadian ini jarang ia terima, motorpun dihentikan, pikirnya dia bersama sepupunya, dia tidak mau menunjukkan rasa sedihnya pada sepupunya. Ditempat dia berhenti terlihat kantor polisi, pamungkas menjalankan sepeda motornya menuju kantor polisi. Dia menaiki tangga untuk menemui segerombolan polisi yang sedang ngobrol-ngobrol dipos penjagaan, pamungkas menanyakan rute jalan menuju jogja dengan meminta kertas untuk dibuatin peta. Polisi-polisi itu sempat terdiam bingun, kemudian mereka menggambarkan rute-rute menuju jogja. Tanpa basa-basi busuk, kulangkahkan kaki menuju motor dan sepupuku melanjutkan perjalanan, kira-kira dialangkah setelah meninggalkan tempat itu pamungkas baru sadar, dia belum mengucapkan terima kasih pada polisi-polisi itu, dia membalikkan badan dan mengucapkan terima kasih.

Pikiran pamungkas masih belum bisa bekerja dengan maksimal, pikirannya masih berada di tempat akad nikah pacarnya. Dia dipukul-pukul punggungnya oleh sepupunya, sepupunya tau kalau pamungkas sedang tidak konsentrasi. Karena dia juga tidak tidak bisa mengendarai sepeda motor, dia hanya pasrah pada pamungkas untuk dibawa kemana. Setelah satu kilometer dari kantor polisi itu, ada jalan yang bercabang, pamungkas tidak melihat peta yang dibuatin oleh polisi-polisi itu, dia lebih mempercayai intuisinya, dia mengikuti kata hatinya untuk jalan lewat mana. Pikirannya kembali seperti sedia kala. Dia tau jalan yang sedang dilaluinya tidak dapat menghantarkannya ke jogja tapi tetap dia melaju dan mengikuti kata hatinya untuk mengiringi putaran roda motor menyusuri jalan itu. Tigapuluh menit kemudian terlihat penunjuk arah, yang satu menunjuk arah jodja dan lainnya menunjukkan rumah sakit. Pamungkas seperti disambar kilat disiang bolong, dia telah ditunjukkan oleh intuisinya jalan yang ditempuh pacarnya ketika berangkat bekerja dan bertemu dengannya waktu-waktu lalu. Dia merasa puas dengan intuisinya yang menunjukkan perjalanan rasa pada suatu kejadian yang belum pernah diketahui, kini dia tau tentang perjalanan yang ditempuh keseharian pacarnya. Karena dia sudah tau yang sebenarnya, dia langsung menuju rute jogja.

Berselang beberapa detik meninggalkan papan penunjuk rumah sakit itu, sms dari pacarnya datang. Pamungkas tak lekas membalasnya. Tigapuluha menit yang kedua pamungkas mulai merasakan lapar, dia berinisiatp mencari rumah makan. Di jalanan itu tidak sulit menemukan rumah makan. Sepupunya juga ikut makan dan tereran-heran melihat pamungkas, karena porsi pamungkas saat itu tidak seperti biasanya. Dia memesan tiga porsi dan itu untuk dia sendiri. Sepupunya hanya melihat dan tidak berani berkomentar. Setelahs elesai makan, dia membalas sms pacarnya yang beberapa jam lalu telah menikah dengan orang lain…………………..

Mama atau endarti, kini hanya sebuah panggilan dan menjadi kenangan masa lalu yang menyakitkannya. Dia tidak pernah mendapatkan jawaban, kenapa mamanya harus menikah dengan orang lain. Hari-hari pilu, ditanggungnya. Dia diselamatkan oleh konselornya yang setia menemani. Setelah seminggu setelah akad itu, endarti menanyakan siapa yang memeritaukan acara pernikahannya padaku. Jawab aja dari nomor yang tidak pernah kukenal dan kusertakan nomor itu. Nomor yang tidak dikenal itu, nomor suaminya. Suaminya menyangka bahwa nomor ponsel pamungkas adalah nomor sodaranya karena nama yang diberikan nama sodaranya.

Pesan singkat konselor itu kini telah tergenapi “jangan percaya janji yang ketiga ketika yang pertama dan kedua tak pernah ditepati”, endarti tidak dapat menepati janjinya untuk menghubungi kalau dia menikah. Kalau bukan alam yang berbuat hal demikian, pamungkas tidak pernah tau tentang pernikahan pacarnya, padahal mereka telah berjanji tentang itu. Tidak terlalu dalam penderitaan yang pamungkash alami, alasan-alasan atas itu semua telah tergenapi dan endarti bukan perempuan yang menjadi idaman pamungkas. Endarti jarang menepati janji yang diikrarkan, padalah janji-janji itu ikatan yang harusnya ditebus dengan kesungguhan dan ketulusan hati. sebulan setelah akadnya endarti menghubungi pamungkas, dia menyesal menerima bujukan orang tuanya, dia telah dijodohkan karena banyak hal juga yang menjadi pertimbangannya dia menerima itu bagian dari balas budi terhadap kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya.

Satu bulan setengah setelah akad itu, beberapa kali keluhan endarti sampai ke pamungkas lewat sms. Dia merasa butuh penyesuaian yang mendalam dengan suaminya. Dia tidak pernah berpikir orang menikah akan seberat itu. Aku hanya bisa menyarankan untuk mengkomunikasikan hal itu pada suami, ungkap pamungkas tiap kali keluhan-keluhan itu datang menghampirinya.

-  -

Tidak ada komentar: