Suara hatiku mulai terasa bergemuruh kembali. Pasca menemani sodari dari jember ke makm ibu angkatnya, hatiku terdengar ribut dan sulit dikontrol. Hampir sebulan penuh hatiku terdiam dan tidak ada satupun komentar atas perjalanan ini. Setelah pergatian sopir dan pembicaraan-pembicaraan sesaat itu, ada serpihan yang tersangkut. Kesadaranku menjadi taruhan dari tiap bisik hatiku. Ini bukan rekayasa pikir semata, ini sebuah aliran yang sudah pernah ada sebelumnya. Kekurangaku, atau mungkin itu adalah kelebihnaku. Kerasnya angin yang diringi gerimis itu terasa menjadi pelengkap sambutan hatiku yang kini telah terbuka lagi. Bukan karena kebetulan atau juga karena kebutuhan saat ini. Gampang sekali hatiku terbujuk keadaan, kenapa aku harus menanggung beban ini, aku yakin ini adalah kata hatiku yang sebenarnya. Tapi bagaimana dengan kisah-kisah sebelumnya. Ucapannya yang terbungkus senyuman manis membawa auraku larut kedalamnya. Beberapa kali kucegat untuk membuktikan hatiku, cegatan itu selalu mengarah pada hatiku sendiri. Apakah aku sedang jatuh cinta? Apakah ini bagian dari rekayasa alam yang mengiringku pada sebuah kebenaran. Pusing kepalaku. Rekaman masa lalu terputar kembali bersama dengan gelisah hati ini. Embun pagi yang menempel didedaunan tidak bersahabat lagi denganku, dia sudah dibasahi terus menerus gerimis saat ini sedang musim. Dia telah dibasahi, ruang hatinyapun belum pernah tersedia untuk hatiku. Apakah ini akan berakhir dengan baik, atau sebaliknya, pikiranku semakin sulit ku kontrol apalagi desakan hatiku yang terus menindih dalam tiap hela nafasku.
Secangkr kopi panas memang sahabat yang setia. Tiap tegukannya mengalirkan energi kehidupan. Cangkirku telah dituangi kopi yang bukan racikanku entah racikan dari mana, rasa, aroma dan warnanyapun tidak seperti yang kubuat. Hambar rasanya, padahal kopi yang biasa ada dicangkirku selalu kujaga citranya, siapapun pasti ingin mencicipinya, walau demikian cangkir dan kopiku selalu setia, dia selalu dan hanya aku yang meneguknya. Semangat itu masih tersimpan rapi dan ku rawat senantiasa siap sedia saat ku meneguknya.
Hamburan gerimis yang menuangkan aroma tanah basah mencirikhaskan musim basah telah tiba. Seperti aroma dan cita cintaku mulai bersemi diantara rintik-rintiknya. Terkadang sengatan kilat yang menyusup diantara gerimis dan hujan , itu menyegarkan pikiranku yang terpenuhi rasa keingintahuan tentang garis kehidupanku.
Aku menyebutnya sabda, tapi kini hanya bagian yang sulit kuterjemahkan. Kehambarannya menyeretku untuk bangun dari mimpi-mimpi yang sebelumnya tidak pernah tercipta. Apakah dia “Titipan Ilahi Yang Akan Sampai” memberiku ruang atas hatiku yang selama ini tetap kujaga. Apakah aku hanya mengumbar nafsu untuk kepentingan sesaat saja. Hatiku tidak akan pernah membohogiku untuk tujuan yang sia-sia, hatiku akan selalu setia dalam tiap jengkal perjalananku. Apakah dengan membuka diri mendapatkan tambatan yang bisa menerima hatiku, hatiku sangat gersang. Tak satupun tetesan kasih sayang didalamnya, hanya sebuah semangat untuk tetap hidup diantara semak belukar kehidupan ditanah antah berantah, yang tetap setia dengan secangkir kopi panas diantara pagi, siang dan malam. Jiwa yang selalu memenuhi panggilan itu, terjerat dan mengakar diseluruh tubuhku atas jelmaan hati ini untuk menyangga akibat perilaku kahidupanku.